Web Toolbar by Wibiya r3ndri'5 Blogs
[tutup]

Minggu, 22 April 2012

Bila Orang Tua Berbuat Maksiat Apa Yang Harus Dilakukan Anak?

Terkadang seorang anak harus menghadapi orang tua yang belum mengerti tentang ajaran Islam. Sebagai akibatnya, ia harus menyaksikan orang yang sangat ia cintai dan hormati melakukan perbuatan maksiat atau menghalang-halangi si anak dari perbuatan amal shaleh.

RUANG LINGKUP PENGERTIAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
Pengertian birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua) ialah mencurahkan seluruh jenis kebaikan bagi mereka. Syaikh al-’Utsaimîn rahimahullâh memaparkannya dalam bentuk-bentuk berikut ini:
1. Berbakti kepada orang tua dalam bentuk ucapan.

Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs al-Isrâ`/17:23)
..... Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka.
Ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(Qs al-Isrâ`/17:23)
Ini perlakuan saat orang tua telah berusia uzur. Biasanya ketika telah memasuki usia senja (pikun), tindak-tanduk orang tua tampak tidak normal di hadapan orang lain. Walaupun demikian, Allâh Ta'âla memerintahkan: "maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'Ah')", maksudnya jangan berbuat seperti itu kepada mereka disebabkan kegusaran atas tindak-tanduk mereka (dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia).
2.
Bakti kepada orang tua juga dalam bentuk perbuatan, yaitu dengan cara seorang anak menghinakan diri di hadapan orang tuanya, dan tunduk patuh kepada mereka dengan cara-cara yang dibenarkan syariat dalam rangka menghormati kedudukan mereka. Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs al-Isrâ`/17:24)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
(Qs al-Isrâ`/17:24)

3.
Berbakti juga dapat dilakukan dengan pemberian materi kepada orang tua.
Orang tua berhak memperoleh infak dari anaknya. Bahkan ini termasuk bentuk infak yang agung. Sebab Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِأَبِيْكَ
Engkau dan kekayaanmu adalah milik bapakmu
(HR. Abu Dâwud no. 3530, Ibnu Mâjah no. 2292)
4.
Bentuk bakti kepada orang tua yang lain, dengan melayani mereka dalam menyelesaikan atau membantu urusan maupun pekerjaan mereka. Namun bila meminta tolong dalam perkara yang diharamkan, saat itu tidak boleh bagi anak untuk menyambut permintaan mereka. Justru, penolakannya menjadi cermin bakti anak kepada orang tua, berdasarkan sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِـمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِـمًا قَالَ تَـمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ
Tolonglah saudaramu saat berbuat zhalim atau teraniaya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam ditanya:
“Wahai Rasulullah, kalau menolong orang yang teraniaya
kami sudah mengerti,
bagaimana dengan menolong saudara yang berbuat zhalim?”
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam menjawab:
“Dengan menghalang-halanginya berbuat zhalim”.
(HR. al-Bukhâri, Muslim dan Ahmad)
Misalnya, orang tua memerintahkan membeli sesuatu yang diharamkan, kemudian si anak menolaknya. Anak ini tidak disebut sebagai anak durhaka, akan tetapi merupakan putra yang berbakti kepada orang tuanya, karena telah menahan orang tuanya dari berbuat yang haram.[1]
II. TELADAN YANG BAIK DARI NABI IBRAHIM 'ALAIHISSALAM
Allâh Ta'âla sudah menyatakan bahwa Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam merupakan qudwah hasanah (teladan yang baik) bagi umat manusia. Sebagai contoh, kegelisahan mendalam yang beliau rasakan karena sang bapak (Azar), masih bergelut dengan penyembahan berhala dan patung-patung. Tiada kata putus asa bagi Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam. Allah Ta'ala telah berfirman (mengisahkan) di beberapa surat di dalam al-Qur‘ân bagaimana besarnya sopan-santun dan kegigihan beliau mendakwahi orang tua.
Yang menarik dan mesti ditiru oleh seorang anak saat menghadapi perbuatan maksiat orang tua mereka adalah Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam selalu menghiasi diri dengan sifat al-hilm (bijak dan penuh kelembutan) seperti tertera dalam surat at-Taubah ayat 114.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs. at-Taubah/9:114)
Sesungguhnya Ibrâhîm adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun
(Qs. at-Taubah/9:114)
Beliau 'alaihissalam mempunyai kasih-sayang terhadap sesama, dan memaafkan perlakuan-perlakuan tidak baik kepadanya yang muncul dari orang lain. Sikap tidak sopan orang lain tidak membuat beliau antipati, tidak menyikapi orang jahat dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, sang bapak telah mengancam dengan berkata kepadanya:
“Bencikah kamu kepada ilâh-ilâhku (tuhan-tuhanku), hai Ibrâhîm. Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”.
Namun Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam menyikapinya dengan berkata:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (Qs
Maryam/19:46-47)
Syaikh as-Sa’di rahimahullâh berkata:
"Ibrâhîm al-Khalîl 'alaihissalam menjawabnya (ancaman si ayah) dengan jawaban yang biasa disampaikan oleh hamba-hamba Allâh Ta'âla (’Ibâdurrahmân) saat berbicara dengan orang-orang jâhilîn (orang-orang yang tak berilmu/awam)[2]. Beliau tidak mencela sang bapak sedikit pun. Namun tetap bersabar dan tidak membalas (ancaman) bapaknya dengan hal-hal yang tidak baik. Beliau mengucapkan “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu” yang mengandung pengertian ‘Wahai ayah, engkau tidak akan menghadapi cemoohan, celaan dan perlakuan yang buruk dariku saat aku berbicara denganmu. Justru aku akan senantiasa berdoa kepada Allâh Ta'âla agar memberikan hidayah dan ampunan bagimu...[3]
III. BERCERMIN PADA PETUNJUK ULAMA
Bagaimanapun ketika orang tua berbuat pelanggaran syariat, anak tidak boleh berdiam diri. Ia berkewajiban merubahnya, supaya orang yang ia kasihi tersebut tidak terjerumus dalam kenistaan di jurang maksiat kepada Allâh Ta'âla, namun tidak boleh menempuh cara-cara yang justru langsung memutus tali silaturahmi dengan mereka.
Berikut ini kami kutip beberapa keterangan Ulama yang berbicara bagaimana menyikapi orang tua yang berbuat maksiat. Dengan harapan, kita sekalian dapat mengambil langkah yang tepat saat menghadapi persoalan-persoalan serupa :
A.
Bapakku melakukan pelanggaran syariat.

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh menjawab kegamangan seorang anak atas tindakan maksiat yang ia lihat pada bapaknya.
Beliau rahimahullâh berkata:
“Semoga Allâh Ta'âla memberi hidayah dan kemauan bertaubat bagi bapakmu. Kami berpesan agar engkau tetap berlaku lembut kepadanya dan menasehatinya dengan cara halus, tidak pernah putus asa dalam rangka menunjukkannya kepada hidayah.
Allâh Ta'âla berfirman :
"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Qs Luqmân/ 31:14-15)
(Pada ayat di atas) Allâh Ta'âla berwasiat supaya mensyukuri kedua orang tua. Perintah ini ternyata dipadukan dengan perintah bersyukur kepada-Nya. Ayat itu juga memerintahkan anak agar mempergauli mereka di dunia ini dengan cara-cara yang baik, kendatipun mereka memaksa berbuat kufur.
Melalui ayat di atas, engkau tahu bahwa sikap yang diperintahkan syariat dalam kondisi ini (memaksa anak berbuat kufur, red) adalah agar seorang anak tetap menjalin hubungan dengan orang tua dengan cara-cara yang baik, berbuat baik kepada mereka meski mereka berbuat jelek kepadanya, serta gigih mengajak mereka kepada kebenaran. Semoga Allâh Ta'âla memberi hidayah baginya melalui tanganmu. Engkau tidak boleh menaatinya dalam kemaksiatan.
Kami juga berpesan setelah memohon pertolongan kepada Allâh Ta'âla, supaya engkau juga meminta bantuan orang-orang shaleh dari
kalangan kerabatmu dan paman-pamanmu dan pihak lainnya, yaitu orang-orang yang sangat dihormati dan dimuliakan oleh ayah. Mungkin saja, beliau akan lebih mudah menerima nasehat mereka….”.[4]

B. Ibuku melarangku mengenakan hijâb (cadar)
Seorang Muslimah mengadukan ibunya yang melarang dirinya mengenakan cadar kepada Syaikh Bin Baz rahimahullâh. Sebaliknya, justru memerintahkan anak untuk menikmati bioskop dan video. Alasan si ibu, agar rambut putrinya tidak cepat memutih.
Menanggapi persoalan ini, Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menjawab:
“Kamu berkewajiban bersikap lembut dengan ibu dan tetap berbuat baik kepada beliau, serta berbicara dengan cara yang terbaik. Sebab, hak ibu sangat besar. Akan tetapi, engkau tidak boleh taat kepadanya dalam perkara-perkara yang tidak baik, berdasarkan hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam :
إنَّـمَا الطَّاعَةُ فِـيْ الْـمَعْرُوفِ
“Ketaatan (kepada makhluk) hanya pada
perkara-perkara baik saja”
Begitu pula, ayah dan suami, tidak wajib ditaati dalam maksiat kepada Allâh Ta'âla. Akan tetapi, seyogyanya istri atau anak dan lainnya bersikap lembut dan menempuh cara yang baik dalam menyelesaikan masalah. Yaitu dengan menjelaskan dalil-dalil syar’i, wajibnya taat kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya, dan kewajiban menghindari maksiat kepada Allah k dan Rasul-Nya, dengan tetap teguh berpegangan al-haq dan menampik perintah orang yang menyuruh melanggar al-haq, baik itu suami, ayah, ibu atau lainnya.
Sebenarnya tidak masalah menonton acara TV dan video yang tidak mengandung kemungkaran, atau mendengarkan acara-acara ilmiah dan kajian-kajian yang bermanfaat. Yang harus dihindari ialah acara yang mengandung kemungkaran. Menonton film-film pun tidak boleh karena mengandung banyak kebatilan.”[5]
C. Ibuku marah ketika aku ingatkan dari kesalahan
Seorang anak menyaksikan ibunya tidak istiqamah. Setiap kali menasehati, kemarahanlah yang muncul dari beliau. Akibatnya selama beberapa hari si ibu enggan berbicara dengan anaknya. Persoalan yang ditanyakan adalah cara menasehati ibu, tanpa menimbulkan amarahnya dan kemurkaan Allâh Ta'âla. Sebab, ternyata sang ibu saking marahnya sempat mendoakan kejelekan bagi
anak yang menasehatinya. Apakah dibenarkan ia membiarkan ibunya dalam keadaan demikian, hingga tetap disayang oleh ibu?
Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdur Rahmân al-Jibrîn hafizhahullâh menjawab kegundahan di atas dengan berkata:
“Engkau tetap menasehati ibumu terus-menerus, dan menjelaskan dosa dan bahaya akibat perbuatannya. Jika tidak berpengaruh baik, cobalah sampaikan kepada suaminya (bapakmu atau lelaki yang menjadi suaminya karena sudah cerai dari ayah, red), orang tua ibu atau walinya, agar mereka inilah yang menasehati beliau. Jika perbuatan beliau termasuk dosa besar, tidak mengapa bila engkau menghajr (tidak mengajak bicara) beliau.
Sehubungan dengan doa buruk atau komentar miring terhadapmu anak yang durhaka atau memutuskan tali silaturahmi maka hal itu tidak membahayakanmu. Sebab engkau melakukannya (menasehati ibu, red) karena dorongan rasa tidak suka bila hukum Allâh Ta'âla dilanggar. Namun apabila kesalahan beliau termasuk dosa kecil, engkau tidak boleh melakukan muqâtha’ah (mendiamkan beliau)”[6]

IV. KESIMPULAN DARI FATWA-FATWA DI ATAS
Beberapa fatwa Ulama di atas telah memberikan petunjuk bagi siapa saja yang ingin menasehati orang tuanya yang berbuat kesalahan. Dari fatwa-fatwa itu, dapat disimpulkan bahwa :
  1. Menasehati orang tua harus dengan lemah-lembut.
  2. Terkadang diperlukan pihak lain untuk melakukan nahi mungkar.
  3. Melarang orang tua dari perbuatan haram atau menolak perintah orang tua yang memerintahkan berbuat haram termasuk bakti kepada orang tua.
  4. Tidak boleh putus asa dalam rangka meluruskan orang tua menuju hidayah.
  5. Bila diperlukan, tidak mengajak bicara dengan orang tua termasuk langkah untuk menyadarkan orang tua yang berbuat salah.

Semoga Allâh Ta'âla memberikan karunia hidayah dan taufik bagi setiap keluarga Muslim dalam menjalankan aturan Allâh Ta'âla di tengah keluarga. Amin. (Redaksi)
[1]
Fatâwâ Syaikh al-’Utsaimîn, nukilan dari Fatâwâ Ulamâ Baladil Harâm hlm. 1631
[2]
Seperti tertera dalam surat al-Furqân ayat: 63
[3]
Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 369 dan 528. Pada gilirannya, Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam dilarang oleh Allâh Ta'âla memintakan ampunan bagi bapaknya, karena telah memperoleh kepastian akan kesesatannya.
[4]
Majmû~ Fatâwâ Ibni Bâz 9/313 dengan ringkas
[5]
Majmû‘ Fatâwâ Ibni Bâz (5/358)
[6]
Fatâwal Mar‘ah hlm. 104, nukilan dari Fatâwal Mar‘atil Muslimah hlm. 957-958

(Baituna: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII)

Adakah Do'a Setelah Selesai Shalat?

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV)

Pertanyaan:
Setelah ana membaca rubrik Tajuk As-Sunnah Edisi 11/Tahun. XIV ada kalimat, “Renungilah doa … agar dibaca setiap selesai shalat. Yang saya tanyakan, apakah ada hadits shahih tentang doa setelah selesai shalat? Yang saya ketahui bunyi hadits tersebut “fî duburi kulli shalat”, yang maknanya adalah akhir shalat, bukan setelah shalat. Barakallâhu fi ikum.
081567xxxxxxx

Jawaban:
Memang sebagian orang beranggapan bahwa setelah shalat wajib tidak ada doa, yang ada adalah dzikir. Sedangkan doa, posisinya di dalam shalat, seperti dalam tasyahhud sebelum salam dan lainnya. Anggapan seperti ini tidak benar, karena sesungguhnya ada hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berdoa setelah salam.
Diantara hadits-hadits tersebut adalah :
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَـمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
Dari al-Bara’ radhiyallâhu'anhu , dia berkata,
"Jika kami shalat di belakang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam,
kami senang berada di sebelah kanan beliau.
Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menghadapkan wajahnya kepada kami.
Aku pernah mendengar beliau berdo'a,
'Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari (kiamat) yang Engkau akan membangkitkan
atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu'”.
(HR.Muslim, no. 709)

Di dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ ﻛَﺎنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ﻟِﻲ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ
وَمَا أَﺳْﺮَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَﺳْﺮَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي,
أَنْتَ الْـمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْـمُؤَخَّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, dia berkata,
"Kebiasaan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, jika telah mengucapkan salam (selesai) shalat,
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berdo'a,
'Wahai Allâh Ta'âla ampunilah dosaku yang telah aku lakukan
dan (dosa akibat dari kewajiban) yang telah aku tinggalkan,
(dosa) yang aku rahasiakan dan yang aku lakukan dengan terang-terangan,
yang aku telah melakukan dengan berlebihan
dan segala dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku.
Engkau adalah Muqaddim
(Dzat Yang memajukan orang yang Engkau kehendaki dengan sebab mentaati-Mu atau sebab lainnya)
dan Muakhkhir (Yang memundurkan orang yang Engkau kehendaki).
Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau'".
(HR. Abu Dâwud, no. 1509; dishahihkan yaikh Al-Albâni rahimahullâh)
Hadits ini dimuat oleh imam Abu Dâwud  rahimahullâh dalam kitab Sunannya dalam bab: Mâ yaqûlur rajulu idza sallama (Apa yang diucapkan oleh seseorang jika telah selesai salam)
Doa-doa ini diucapkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam sendirian, tidak berjamâ’ah. Oleh karena itu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam menggunakan kata ganti tunggal, bukan jama’. Dalam hadits yang pertama, beliau  shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan, “Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu…”, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan “Wahai Rabb kami, jagalah kami dari siksa-Mu…”.
Dalam hadits yang kedua beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengatakan “Wahai Allâh ampunilah aku, (dosa) yang telah aku lakukan dan (kewajiban) yang telah aku tinggalkan…”. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Wahai Allâh ampunilah kami, (dosa) yang telah kami lakukan dan (kewajiban) yang telah kami tinggalkan…”. Ini menunjukkan bahwa do'a ini diucapkan seorang diri.
Adapun kebiasaan yang dilakukan di berbagai masjid yaitu imam dan makmum selalu melakukan doa dengan berjamâ’ah setelah selesai shalat wajib, maka itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam , wallahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh mengatakan, “Hadits-hadits yang dikenal dalam (kitab-kitab) Shahih, Sunan, dan Musnad, menunjukkan bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam biasa berdoa di akhir shalat sebelum keluar dari shalat. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan dan mengajarkan hal itu kepada para sahabatnya. Dan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan, bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam berdoa setelah selesai (mengimami) shalat dengan banyak orang, begitu juga dengan para ma’mum, tidak (setelah) shalat Shubuh, Ashar atau shalat lainnya”. (Majmû’ Fatâwâ 22/492)
Adapun kalimat “fî duburi kulli shala” yang terdapat dalam banyak hadits, yang maknanya di akhir sholat, mencakup dua pengertian yaitu bagian akhir dalam shalat dan setelah shalat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Lafazh “dubur shalat”, terkadang maksudnya adalah bagian akhir dari shalat (ini berarti masih dalam sholat; sebelum salam-red), terkadang maksudnya adalah yang ada setelah bagian terakhir itu (sehingga ini setelah salam dari shalat-red)”. (Majmû’ Fatâwâ, 22/499)
Walaupun doa-doa shalat banyak dianjurkan dibaca dalam shalat atau dengan kata lain ketika shalat, dan itu lebih utama, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Inilah sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam yang sudah berjalan (berdoa dalam shalat dan berdzikir setelah shalat-red), dan ini sesuai (dengan keadaan-red), karena orang yang sedang shalat itu berbisik kepada Rabbnya, maka doanya dan permintaannya kepada Rabb ketika dia sedang berbisik kepada-Nya lebih utama daripada permintaannya dan doanya setelah berpaling dari-Nya”. (Majmû’ Fatâwâ, 22/499)
Namun demikian tidak berarti tidak ada doa setelah salam, berdasarkan hadits-hadits yang telah kami sampaikan. Wallahu a’lam.

Dengan Sanad Islam Dijamin Terjaga

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XV)

Sumber-sumber rujukan ajaran Islam pasti senantiasa terjaga keasliannya karena Islam adalah agama Allâh untuk kemashlahatan manusia di dunia maupun akhirat. Maka seperti halnya al-Qur’an, hadits-hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam yang muliapun akan tetap utuh dan terjaga keasliannya. Setiap hadits palsu, lemah, atau diragukan keasliannya pasti akan terseleksi. Sehingga yang asli dan benar akan tetap dapat diketahui.
Dengan demikian, kebenaran ajaran Islam adalah kebenaran mutlak dan tidak diragukan, sebab sumber ajaran Islam adalah al-Qur’ân dan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam yang kedua-duanya merupakan wahyu Allâh Ta'âla yang selalu terjaga dan berisi kebenaran mutlak. Jika seseorang mengaku Muslim namun meragukan hal ini, maka kemungkinannya dia orang bodoh yang bebal, atau orang yang tersesat, atau orang munafik, atau mungkin juga merupakan kaki tangan musuh-musuh Islam. Terutama jika yang terakhir ini menyebarluaskan keraguannya di kalangan kaum Muslimin.
Allâh Ta'âla telah berjanji dalam firman-Nya :
QS. al-Hijr/15: 9
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’ân), dan pasti Kami akan menjaganya. (QS. al-Hijr/15: 9)
Berdasarkan penjelasan para Ulama, maksud adz-Dzikr yang senantiasa akan Allâh Ta'âla jaga bukan hanya al-Qur’ân saja, tetapi juga Sunnah dan keaslian hadits-hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sebab hadits Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bukan merupakan sesuatu yang terpisah dengan al-Qur’ân. Ia merupakan penegas dan penjelas al-Qur’ân (Lihat pembahasannya dalam rubrik mabhats).
Untuk menjaga keutuhan hadits-hadits Rasul-Nya, Allâh Ta'âla telah memberikan karunia yang sangat besar bagi umat ini, yaitu ilmu sanad atau isnad. Ilmu tentang mata rantai para perawi hadits yang dengannya keaslian hadits, kepalsuan dan kelemahannya akan dapat diketahui secara akurat. Bahkan meskipun seseorang memalsukan hadits sedemikian rapi dengan mengemukakannya melalui sanad buatan yang seakan-akan benar, tetap saja akan dapat diketahui secara pasti kebohongan orang tersebut dan kepalsuan hadits buatannya.
Inilah kehebatan Islam. Umat manapun selain Islam tidak akan dapat memiliki ilmu sehebat ini. Oleh karena itu, peristiwa apapun yang menyangkut urusan Dinul Islam, atau berkaitan dengan Dinul Islam, yang terjadi pada zaman Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, zaman para Sahabat maupun zaman sesudahnya, akan dapat diketahui secara teliti dan dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya.
Itulah sebabnya, dahulu para Ulama kita menyatakan suatu perkataan yang sesungguhnya merupakan kaidah besar dalam Islam. Yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al-Mubarak rahimahullâh:
اَلْإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ، لَوْ لاَ الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Isnad merupakan bagian dari agama, kalau sekiranya tidak ada isnad, niscaya setiap orang akan dapat berkata menurut kehendaknya.
(Riyawat Imam Muslim dalam Muqadimah Kitab Shahihnya)

Imam Ibnu Sirin rahimahullâh juga mengatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Sesungguhnya ilmu (tentang isnad) ini merupakan agama, maka perhatikanlah! Dari siapa engkau mengambil (pengetahuan tentang) agamamu.
(Riwayat Muslim dalam Muqadimah Kitab Shahihnya)
Imam Muslim rahimahullâh menyebutkan perkataan Ibnu Sirin rahimahullâh ini di bawah judul : Bab Anna al-Isnad min ad-Din (Bab bahwa isnad merupakan bagian dari agama ... dst).
Ibnu Sirin rahimahullâh mengatakan pula (yang artinya): “Dahulu para Salaf tidak pernah menanyakan tentang isnad. Tetapi setelah terjadi fitnah (perpecahan dan pemalsuan riwayat-pen), maka para Salaf berkata: Sebutkan kepada kami mata rantai orang-orang (isnad)mu. Kemudian jika diperhatikan, bahwa isnad itu dari kalangan Ahlu Sunnah, maka riwayat haditsnya diambil. Namun ketika diperhatikan bahwa isnad (mata rantai pembawa riwayat) itu dari ahli bid’ah, maka tidak diambil riwayat haditsnya”. (Imam Muslim dalam Muqadimah Kitab Shahihnya).
Demikianlah sekelumit tentang hebatnya salah satu disiplin ilmu dalam Islam yang dengannya riwayat hadits dapat dipertanggung jawabkan. Sungguh, ini merupakan karunia besar yang diberikan Allâh Ta'âla kepada hamba-hamba- Nya, umat Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa ilmu isnad bukan merupakan ilmu yang berharga, berarti mereka tidak lebih dari katak yang terkurung dalam tempurung. Tidak pernah mengerti dalamnya lautan Ilmu Islam. Wallâhu al-Musta’an.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...