بسم الله الرحمن الرحيم
Al-Waduud, Yang Maha Mencintai Hamba-hamba-Nya yang Shaleh
Dasar penetapan
Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha agung ini disebutkan dalam dua ayat al-Qur’an:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ}
“Dan mohonlah ampun kepada Rabb-mu (Allah ‘Azza wa Jalla) kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesengguhnya Rabb-ku Maha Mencintai hamba-hamba-Nya lagi Maha Pengasih” (QS Huud: 90).
2. Firman Allah Ta’ala:
{إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan
(makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj:
13-14).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, para ulama menetapkan nama al-Waduud sebagai salah satu dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir[1], syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[2], imam Ibnul Qayyim[3], imam al-Qurthubi[4], Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di[5], Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin[6], dan lain-lain.
Makna nama Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Waduud dan penjabarannya
Imam Ibnu Faris dan Ibnul Atsir menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti al-mahabbah (kecintaan)[7].
Demikian pula syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menerangkan bahwa asal kata nama ini berarti al-mahabbah ash-shaafiyah (kecintaan yang murni).
Imam Ibnul Atsir dan Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa nama Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Waduud bisa berarti al-mauduud (yang dicintai), artinya Allah Ta’ala dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti al-waadd (yang mencintai), artinya Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh[8].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Makna al-Waduud yang termasuk nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla (yang maha indah) adalah bahwa Dia mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan merekapun mencintai-Nya[9]. Sebagaimana firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ}
“Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari (meninggalkan) agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap
orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang
dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
(QS al-Maaidah:54).
Maka makna nama Allah al-Waduud
adalah bahwa Allah mencintai para Nabi dan Rasul-Nya, serta orang-orang
yang mengikuti (petunjuk) mereka dan merekapun mencintai-Nya. Bahkan
mereka mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu (yang ada di dunia),
sehingga hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya, lidah mereka
selalu mengucapkan pujian/sanjungan bagi-Nya dan jiwa mereka selalu
tertuju kepada-Nya dalam kecintaan, keikhlasan dan kembali kepada-Nya
dalam semua keadaan”[10].
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala:
{وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ}
“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya” (QS al-Buruuj: 14).
Beliau berkata: “Dialah (Allah ‘Azza wa Jalla)
yang dicintai para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya)
dengan kecintaan yang tidak serupa (tidak ada bandingannya) dengan
apapun (di dunia ini). Sebagaimana Dia tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya dalam sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna
dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati
hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak
sesuatupun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya.
Oleh karena itu, kecintaan kepada-Nya
adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya), dan kecintaan ini
mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya).
Jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak
mengikuti/mendukung kecintaan kepada-Nya maka semua itu akan menjadi
sikasaan (bencana) bagi seorang hamba.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla al-Waduud, (juga) berarti Dia mencintai para wali-Nya”[11].
Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Waduud
Masing-masing dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna memiliki bentuk
penghambaan diri yang khusus dan unsur penyempurna ketakwaan serta
keimanan dalam hati seorang hamba[12], oleh karena itu, orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala adalah orang yang paling sempurna pemahamannya terhadap nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allah ‘Azza wa Jalla)
adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami
kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia”[13].
Tidak terkecuali dalam hal ini nama Allah Subhanahu wa Ta’ala al-Waduud, memahami kandungan nama ini dengan benar merupakan sebab utama untuk meraih mahabbatullah (kecintaan kepada Allah Ta’ala)
dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia
ini. Karena dengan memahami kandungan nama ini, seorang hamba akan
mempersaksikan bahwa Allah Ta’ala sungguh memudahkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai sebab dan sarana agar mereka bisa mencapai mahabbatullah (kecintaan kepada Allah Ta’ala), yang ini merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia[14].
Sebab-sebab tersebut di antaranya: dengan
Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan
nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
ini merupakan sebab yang paling besar dan utama. Demikian pula dengan
limpahan berbagai macam nikmat, karunia dan kebaikan dari-Nya
kepada-hamba-Nya, yang ini tentu akan menggerakkan hati mereka untuk
mencintai-Nya, karena jiwa manusia secara fitrah akan mencintai pihak
yang berbuat banyak kebaikan untuk dirinya.
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan faidah penting ini dalam ucapan beliau: “al-Waduud
berarti bahwa Allah mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan
(memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah,
berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi
dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah al-Waduud yang berarti al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berarti al-mauduud
(yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang
dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai
mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu
ketika mereka mencintai-Nya Diapun mencintai (membalas cinta) mereka
dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan)
atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).
Maka karunia/kebaikan semua kembali
kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan
hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati
mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk
mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur’an) sifat-sifat-Nya yang
maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang
suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang
bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.
Dan Allah ‘Azza wa Jalla
memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas.
Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam
(menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati
(hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak
hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan
karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allah menciptakan, menghidupkan,
memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan
dengan itu Allah menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok,
memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan,
menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya,
serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…
Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal
yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin,
adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak
hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.
Sungguh hati manusia secara fitrah akan
mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa
yang lebih agung dari kebaikan (yang Allah ‘Azza wa Jalla
limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk
dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap
nikmat (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[15].
Demikian pula, termasuk bukti-bukti
sempurnanya kebaikan dan kedermawanan Allah yaitu bahwa seorang hamba
yang lancang berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajibannya
dalam beribadah kepada-Nya, tapi bersamaan dengan itu semua, Dia Subhanahu wa Ta’ala
tetap melimpahkan berbagai macam nikmat kepadanya, menjadikan berbagai
sebab untuk memudahkan hamba tersebut kembali kepada-Nya, bahkan Dia Ta’ala mengampuni dosa-dosa dan kekurangan hamba tersebut, sehingga kembalilah kecintaan-Nya kepada hamba tersebut[16].
Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla sangat gembira menerima taubat seorang hamba yang bertubat kepada-Nya melebihi kegembiraan terbesar yang pernah dialami manusia[17] dan Dia menyayangi hamba-hamba-Nya melebihi dari sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya[18].
Inilah rahasianya mengapa dalam dua ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan nama-Nya al-Waduud dengan nama-Nya ar-Rahiim (Maha Pengasih) dan al-Gafuur (Maha Pengampun).
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Dalam ayat
ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allah mencintai
hamba-hamba-Nya yang bertaubat (kepada-Nya) dan bahwa Dia mencintai
hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allah mengampuni-Nya
kemudian mencintai-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين}
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” (QS al-Baqarah: 222).
Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allah”[19].
Demikian juga, termasuk pengaruh positif dari keimanan yang benar terhadap nama Allah Ta’ala
yang maha agung ini adalah memudahkan seorang hamba untuk menjadikan
segala bentuk kecintaannya, baik yang bersifat agama maupun tabiat,
seluruhnya mengikuti kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun dalam kecintaan yang bersifat agama, maka ketika seorang hamba mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dia pasti akan mencintai orang-orang yang dicintai-Nya, yaitu para
Nabi, Rasul dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Demikian
pula kepada semua amal shaleh yang mendekatkan diri kepada Allah. Maka
dia akan mencintai semua yang dicintai oleh Allah Ta’ala, berupa waktu, tempat, pebuatan maupun manusia[20]. Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“(Ya Allah) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada
orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai (semua) amal perbuatan yang
mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu”[21].
Inilah ciri utama orang yang telah meraih kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan
manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih
dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain
semata-mata karena Allah, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada
kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah sebagaimana enggan untuk
dilemparkan ke dalam api”[22].
Adapun dalam kecintaan yang bersifat tabiat, maka seorang hamba yang mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dia akan melakukan hal-hal yang diinginkan oleh nafsunya secara fitrah
bawaan manusia, seperti makan, minum, berpakaian dan tidur, semua itu
dilakukannya dalam rangka membantunya untuk meraih kecintaan kepada
Allah ‘Azza wa Jalla (untuk menguatkannya melakukan ketaatan
kepada-Nya) dan dengan motivasi untuk menunaikan perintah-perintah-Nya
yang bersifat mutlak dalam hal-hal yang mubah, seperti dalam firman-Nya:
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا}
“(Hai manusia), makan dan minumlah…” (QS al-A’raaf: 31).
Maka jadilah sebab yang mendorong hamba tersebut dalam melakukan semua ini adalah untuk menunaikan perintah Allah Ta’ala dan tujuannya untuk membantunya meraih kecintaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla
(untuk menguatkannya melakukan ketaatan kepada-Nya). Sehingga dengan
ini semua, hal-hal yang tadinya merupakan kebiasaan tersebut (hukum
asalnya mubah dan tidak berpahala jika dilakukan) berubah menjadi ibadah
(bernilai ketaatan di sisi-Nya) dan jadilah seluruh waktu mereka diisi
dengan hal-hal yang semakin mendekatkan mereka kepada-Nya[23].
Penutup
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata:
“Semua dampak positif yang agung dan mulia ini adalah termasuk buah dari
kecintaan kepada Allah yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Semua ini akan semakin kuat pengaruhnya sesuai dengan (kuatnya)
kecintaan (kepada-Nya) yang ada dalam hati manusia, kecintaan ini adalah
ruh keimanan, hakikat tauhid, inti prnghambaan diri dan landasan
pendekatan diri (kepada-Nya).
Maka sebagaimana Allah tidak ada yang
serupa dengan-Nya dalam zat dan sifat-sifat-Nya, demikian pula kecintaan
kepada-Nya dalam hati para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat
kepada-Nya) tidak ada bandingannya dalam sebab (yang mendorongnya) dan
tujuannya, dalam kadar dan dampaknya, dalam kenikmatan dan kelezatannya,
dalam ketetapan dan kesinambungannya, serta dalam kesuciannya dari
segala noda dan kotoran dari semua sisi”[24].
Tidak lupa kami tegaskan di sini, bahwa termasuk sebab terbesar untuk meraih kecintaan allah ‘Azza wa Jalla adalah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta bersungguh-sungguh dalam mengikutinya[25], sebagaimana firman-Nya:
{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).
Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini
dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan
sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa memudahkan bagi
kita untuk meraih kecintaan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha mendengar
dan Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 19 Dzulqo’dah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Artikel www.manisnyaiman.com
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] Dalam kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/363).
[2] Dalam kitab “Majmu’ul fataawa” (13/296).
[3] Dalam kitab beliau “Madaarijus saalikiin” (3/28).
[4] Dalam kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur’an” (9/78).
[5] Dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 87).
[6] Dalam kitab “al-Qawa-’idul mutsla” (hal. 41).
[7] Kitab “Mu’jamu maqaayiisil lugah” (6/55) dan “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/363).
[8] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (5/363) dan “Madaarijus saalikiin” (3/28).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 388).
[10] Keterangan syaikh ‘Abdur Rahman as- Sa’di dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 87).
[11] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 919).
[12] Lihat kitab “Madaarijus saalikiin” (1/420) dan “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 55).
[13] Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/420).
[14] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/6).
[15] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 55-56).
[16] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 223).
[17] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 5950) dan Muslim (no. 2747).
[18] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 5653) dan Muslim (no. 2754).
[19] Kitab “Raudhatul muhibbiin” (hal. 47).
[20] Lihat kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 57).
[21] HR at-Tirmidzi (no. 3235), dinyatakan shahih oleh imam al-Bukhari, at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[22] HSR al-Bukhari (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).
[23] Lihat kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 57).
[24] Kitab “Fathur Rahiimil Malikil ‘Allaam” (hal. 57).
[25] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 225).
0 komentar:
Posting Komentar