Inilah sifat orang beriman yang
disebutkan dalam Al Qur’an. Secara umum kita dilarang menghadiri acara
maksiat. Lebih khusus lagi adalah perayaan non muslim, dari agama apa
pun itu, bagaimana pun bentuknya, baik pula yang merayakan kita adalah
saudara atau kerabat. Akidah Islam, memang demikian, bukanlah keras.
Ajaran Islam bermaksud melindungi umatnya agar tidak terpengaruh dengan
kesesatan syi’ar agama lain.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72).
Para ulama pakar tafsir seperti Abul
‘Aliyah, Thowus, Muhammad bin Siirin, Adh Dhohak, dan Ar Robi’ bin Anas
mengatakan bahwa yang dimaksud ‘az zuur’ adalah perayaan orang musyrik.
Sehingga dari ayat ini bisa dipahami, ayat ini menunjukkan sifat orang
mukmin tidaklah menghadiri perayaan orang kafir (non muslim), termasuk
di dalamnya adalah perayaan natal, perayaan paska, dan perayaan tahun baru masehi.
Hukum menghadiri perayaan non muslim adalah haram berdasarkan
kesepakatan (ijma’) para ulama, demikian pula yang menjadi pendapat
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad. Bahkan
Ibnul Qayyim menyatakan adanya kata sepakat dari para ulama (baca:
ijma’) dalam kitabnya Ahkamu Ahli Dzimmah. Sehingga jika ada
ulama sekarang yang membolehkan untuk menghadiri perayaan non muslim,
justru ia yang keliru dan telah salah jalan sehingga tidak pantas
dijadikan rujukan.
Para sahabat Nabi juga tidak
membolehkan seorang muslim pun untuk menghadiri perayaan non muslim dan
memberi ucapan selamat pada perayaan agama mereka. ‘Umar bin Al Khottob
berkata,
اجتنبوا أعداء الله في عيدهم
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka” (HR. Al Baihaqi, dengan sanad shahih). Musuh Allah sudah jelas merekalah orang-orang kafir. Menjauhi mereka tentu saja dengan tidak menghadiri perayaan mereka dan tidak memberikan ucapan selamat pada hari raya mereka. Itulah, sungguh aneh jika ada ulama saat ini yang membolehkan hal-hal tadi sedangkan para sahabat dari jauh hari sudah mewanti-wanti.
Sungguh aneh sebagian orang yang tetap ngotot mau hadir di acara natalan bersama, beralasan demi toleransi, demi kebersamaan, tidak enak sama tetangga atau atasan.
Padahal itu semua alasan manusia, cuma logika-logikaan tanpa
berlandaskan pijakan dalil. Seruan Allah seakan-akan masuk telinga kiri
keluar telinga kanan, tanpa ada takut sama sekali dengan murka Allah
yang tentu lebih berbahaya dari tidak ridhonya manusia. Mereka
seakan-akan tidak takut akan murka Allah yang barangkali akan datang
menghampiri, boleh jadi musibah besar akan melanda dan mereka tidak
sangka-sangka. Alasan para pembela acara natal dan ucapan selamat natal asalnya
dari kurangnya iman, enggan mengenal akidah Islam dan malas untuk duduk
belajar Islam barang sejenak. Padahal sejarah natal menuai kritikan
dari orang nashrani sendiri. Ritual natal sendiri perlu diketahui berasal dari penyembahan berhala. Ini realita yang tidak bisa dipungkiri.
Jadi, biarkanlah mereka merayakan
natal karena sesatnya mereka, kita tidak perlu turut merayakan atau
memberi ucapan selamat. Lakum diinukum wa liya diin.
Tulisan ini hanyalah nasehat. Yang mau nerimo, monggo,
tidak ada paksaan. Karena kami pun tahu bahwa Allah yang beri taufik.
Namun jika telah sampai peringatan, tetapi telinga pun tidak mau
mendengar, terserah, Anda yang akan tanggung hukuman dan balasan di sisi
Allah.
وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS. Yasin: 17)
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 29 Muharram 1433 H
0 komentar:
Posting Komentar