(Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi)
Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk
dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat kondisi
ini perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif
syariat.
MEMELIHARA ANJING
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan
mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang
memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan
diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing
tanpa suatu kebutuhan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak
dan berburu tidak diperbolehkan.
Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”[1]
dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”[1]
‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth. [2]
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth. [2]
Demikian juga Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa memelihara anjing,
maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth,
selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]
maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth,
selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]
Ibnu Sîrîn rahimahullâh dan Abu Shâleh rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan,
Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu
Abu Hâzim rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.”
(HR. al-Bukhâri)
(HR. al-Bukhâri)
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Barangsiapa memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”
(HR. Muslim 2940)
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”
(HR. Muslim 2940)
Iman An-Nawâwi rahimahullâh memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman.[4]
NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian,
maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali.[5]
maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali.[5]
Dalam riwayat lain:
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu bahwa Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali,
salah satunya dengan tanah”
(HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427)
“ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali,
salah satunya dengan tanah”
(HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427)
Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu
najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah
(najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan air tujuh
kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan,
“Di antara hukum Islam
bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah
mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern.
Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit
kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya
kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang
berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing
tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua
yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.[6]
HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil
penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk
berburu atau lainnya.[7]
Yang demikian itu didasarkan pada keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd radhiyallâhu'anhu. Beliau berkata:
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]
HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing,
walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara
yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka
berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
1) | Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya: | ||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
2) | Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi: | ||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [11] |
|||||||||||||||||
Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam : | |||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”.[12] |
|||||||||||||||||
3) | Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allâh Ta'ala : | ||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||
Katakanlah,
“Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs al-An’âm/6:145) |
|||||||||||||||||
Ayat di atas adalah ayat Makiyah, yang
turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah
yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah, al-Washîlah dan al-Hâm.
Kemudian setelah itu Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal,
seperti daging keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua
hewan buas yang bertaring.
Ayat di atas tidak lain hanyalah
memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang
disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu
yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib
diterima dan diamalkan.
|
Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân
merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring, beliau
menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang
menyatakan,
“Semua yang sudah
jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur
‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang
diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan
al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang
setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang
diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada
sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu
selainnya dengan satu perintah yang baru, maka hal itu tidak menafikan
pembatasan yang pertama.[13]
Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini
dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita
yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang najis,
sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan
mempengaruhi dagingnya. Padahal Rasululâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran,
sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[14]
melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[14]
Dengan demikian sangat jelas sekali
keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang memakan
daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua
dapat membantu menjelaskan permasalahan yang selama ini muncul di
masyarakat mengenai keharaman anjing.
Maraji':
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.
(Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII)
0 komentar:
Posting Komentar