(Oleh: Ustadz Abu Riyâdl Nurcholis Majid Bin Mursidi, Lc)
Dalam kasus jinâyah (kejahatan/pidana),
terkadang korban tidak mengalami kematian, akan tetapi hanya menderita
cacat atau terkena luka yang dapat disembuhkan. Dalam Islam, balasan
pidana ini adalah qishâsh, sebagai keadilan yang Allâh Ta'ala tegakkan di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa pada luka juga terdapat hukum qishâsh. Dan ini adalah syariat umat sebelum umat ini, seperti yang sebutkan pada firman Allâh Ta'ala:
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya."
(Qs al-Maidah/5 : 45)
Dari ayat di atas, diketahui bahwa hukum
asal jinâyah adalah qishâsh. Akan tetapi, terkadang hukum asal ini
(qishâsh) terhalang dengan beberapa mawâni’ (penghalang), sehingga
al-jâni (pelaku jinâyah) diberi hukuman lain yaitu diyat (denda) sebagai
ganti rugi dari kerusakan yang ditimbulkan.
PENGHALANG/ PEMBATAL QISHASH ANGOTA TUBUH
Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari’at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut:
PENGHALANG/ PEMBATAL QISHASH ANGOTA TUBUH
Adapun penghalang-penghalang qishâsh yang telah digariskan syari’at untuk diganti dengan diyat adalah sebagai berikut:
- Al-Ubuwwah, maksudnya pelaku jinâyah adalah bapak dari korban tersebut.
Dasarnya adalah hadits Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Dari Umar bin Khaththâb radhiyallâhu'anhu, ia berkata :
“Aku mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“Bapak tidak boleh diqishâsh pada jinâyahnya terhadap anak.”
- Yang bersangkutan memberikan maaf dan rela dengan diyat.
Allâh Ta'ala berfirman:
"Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diyat) kepada yang memberi ma’af
dengan cara yang baik pula.
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih."
(Qs al-Baqarah/2 : 178) - Tidak sekufu’, maksudnya tidak sepadan antara al-jâni (pelaku) dan al-majny ‘alaihi (korban).
Yang dimaksud sekufu’ di sini menurut jumhur Ulama’ ialah dalam dua hal, yang pertama, huriyyah (status merdeka atau budak), dan yang kedua adalah status agama.
- Ketidaksengajaan (al-khata’) atau bahkan menurut Syâfi‘iyah dan
Hanâbilah pada kasus syibhul ‘amdi (mirip disengaja) termasuk dari
penghalang qishâsh.
- Tidak adanya mumâtsalah (sesuatu yang semisal/sebanding) antara pelaku dan korban.
Dalam mumâtsalah ini ada pada tiga hal, yaitu:
a. Mumâtsalah pada bagian dari anggota tubuh, kadar maupun fungsinya. Maka tidak diqishâsh tangan selain dengan tangan, bagian kiri dengan yang kanan, ibu jari dengan telunjuk, karena tidak ada suatu kesamaan.
b. Mumâtsalah dalam kesempurnaan dan kesehatan. Maka tidak diqishâsh antara mata buta dengan mata yang normal.
c. Mumâtsalah dalam fi’il qishâsh yaitu memungkinkan tidak terjadi kedzaliman atau pengurangan dalam proses eksekusi qishâsh. Maka tidak diqishâsh pada kerusakan yang terjadi pada badan karena mumâtsalah dalam masalah ini sangat sulit diterapkan. Begitu juga jinâyah yang memutus pertengahan hasta atau lengan maka qishâs hanya berlaku sampai persendian yang di bawah pertengahan hasta atau lengan tadi, dan selebihnya diukur dengan kadar diyat, hal ini tidak lain dalam rangka memberikan hukum dengan seadil-adilnya. Maka apabila terdapat salah satu dari mawâni’ (penghalang) qishâsh tersebut di atas, seketika itu hukuman berubah menjadi diyat.
DIYAT (DENDA) ANGGOTA BADAN
Pada jinâyah ma dûna nafs (non kematian) ini memiliki empat kategori diyat apabila qishâsh terhalang, yaitu:
- Diyat pada jinâyah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan.
- Diyat pada jinâyah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
- Diyat pada jinâyah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan.
- Diyat pada jinâyah yang mengakibatkan patah tulang.
Perincian diyat pada jinâyah- jinâyah tersebut ialah:
A. |
Diyat pada jinâyah yang berakibat hilangnya salah satu anggota badan
Dalam tubuh manusia terdapat 45 anggota
badan. Dari anggota itu ada yang berjumlah satu, dan ada juga yang
berjumlah sepasang atau berjumlah lebih dari itu. Maka, setiap jenis
anggota tersebut memiliki diyat yang berbeda-beda. Adapun pembagiannya
yaitu:
|
||||||||||||||||||||
B. |
Diyat pada jinâyah yang menimbulkan hilangnya suatu manfaat dari anggota badan.
Manfaat yang dimaksud di sini ialah
manfaat atau fungsi anggota badan yang telah kami sebutkan, Seperti
panca indra pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perasa. Jika salah
satu dari panca indra ini hilang, maka wajib atasnya membayar diyat
secara utuh.
Hal yang serupa juga berlaku pada
hilangnya manfaat dari anggota tubuh yang berjumlah tunggal seperti
akal, kemampuan bicara, kemampuan sex, kemampuan berjalan, dll. Hal ini
sebagaimana keputusan ‘Umar bin Khatthâb radhiyallâhu'anhu ketika
beliau mengadili seseorang yang telah memukul kawannya dan mengakibatkan
hilangnya penglihatan, pendengaran, kemampuan sex, dan akal darinya dan
ia masih hidup. Oleh Umar radhiyallâhu'anhu orang itu di beri sangsi
empat kali diyat (400 ekor onta)
Kaidah dalam masalah ini, setiap anggota tubuh yang berjumlah tunggal maka diyatnya penuh (100 ekor onta) dan untuk anggota badan yang berjumlah dua atau empat atau sepuluh, bila terjadi kerusakan fungsi tanpa kehilangan bentuk anggota badan seperti lumpuh dan sebagainya, maka diyatnya sebesar prosentase hilangnya manfaat anggota tubuh tersebut dari diyat, karena darah majny 'alaihi tidak boleh disia-siakan tanpa ganti rugi. |
||||||||||||||||||||
C. |
Diyat pada jinâyah yang berupa luka di kepala, wajah atau badan
Luka di kepala dan wajah dalam Bahasa
Arab dinamakan Syajjah, dan luka pada selainnya dinamakan Jarh. Jinâyah
pada kepala atau wajah (syajjah) ini memiliki sepuluh tingkatan yang
diambilkan dari Bahasa Arab. Setiap jenisnya memiliki nama dan hukum
tersendiri pula.
Adapun sepuluh macam tersebut yaitu:
|
||||||||||||||||||||
D. |
Diyat pada jinayah yang mengakibatkan patah tulang
Pada kasus patah tulang ini, menurut
Ibnu Qudâmah rahimahullâh ada 5 jenis tulang yang ada kadar diyatnya
yaitu tulang rusuk, dua tulang iga, dan zand (lengan dan hasta).
Kadar diyat pada 5 tulang tersebut yaitu:
|
Demikian, semoga pembahasan ini menambah kecintaan kita kepada syariat Islam.
Marâji:
- Shahîhul-Bukhâri
- Sunan an-Nasâ‘i
- Musnad Imam Ahmad
- Mushannaf Ibnu Abi Syaibah jilid 5
- Musannaf Abdurrazâq jilid 9
- Al-Mughni, Al- Muwaffaq Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudâmah al-Maqdisy al-Jama’ily, Percetakan Dâr Alimil Kutub KSA, cet. Ketiga, Th. 1417 H /1997 M. jilid 12.
- Ar-Raudul Murbi’ Syarh Zâdul Mustaqni’ Bihasyiyah Ibnu Utsaimîn, Mansûr bin Yûnus al-Bahuty , Ibnu Utsaimîn, Percetakan Muassasah ar-Risâlah Beirut.
- Al-Fiqhul-Islâmy wa Adillatuhu, DR. Wahbah az-Zuhaily, Percetakan, Dâr Fikr cet. Kedua Th.1405 H / 1985 M , jilid 7
- Al-Mulakhas al-Fiqhy, DR. Shaleh bin Fauzân al-Fauzân, Percetakan, Dâr ‘Ashimah cet. Pertama, th 1423 H, jilid 2.
- At-Ta’liqat Radliyyah ‘Ala ar-Raudlatunnâdiyyah, Lil Allâmah Sidiq Hasan Khan at-Tanûhy, Nâshiruddîn al-Albâni, Percetakan, Dâr Ibnu ‘Affân, Riyâdl, cet.pertama th.1423M/2003H. jilid 3
(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII)
0 komentar:
Posting Komentar