(Oleh: Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halaby)
Saya tidak lupa menyebut satu hal yang nantinya
menjadi pijakan tema sekarang ini, yaitu rahmat Islam dan rahmat Nabi
Islam. Sungguh saya bisa merasakan dan melihat rahmat ada pada
masyarakat muslim di negeri yang baik ini. Mereka mencintai Allâh dan
Rasul-Nya, serta mencintai kebenaran yang datang dari Rabb dan
Rasul-Nya. Ini adalah keistimewaan yang tiada bandingannya. Sebuah
karakter yang sedikit sekali orang yang menghiasi diri dengannya pada
masa sekarang ini. Dan memang semakin jauh dari masa nubuwwah, maka
kebaikan semakin sedikit. Seperti yang dikatakan Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam:

Tidak ada satu masa (yang datang),
kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya,
sampai kalian menjumpai Rabb kalian.
(HR at Tirmidzi, no. 2132)
kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya,
sampai kalian menjumpai Rabb kalian.
(HR at Tirmidzi, no. 2132)
Maka, saya ucapkan selamat kepada Anda sekalian, atas
karakter yang baik ini, ketundukan kepada Allâh dan Rasul-Nya sebagai
rasa pengagungan kepada Allâh dan Rasul-Nya.
Saya ingin menyampaikan sesuatu yang bergejolak dalam
dada. Sesuatu ini nampak kontradiktif, akan tetapi merupakan sebuah
kebenaran jika dijelaskan dan diterangkan. Hal tersebut adalah tentang
Islam merupakan rahmat, Rabb kita adalah ar-Rahim (Maha Penyayang) dan
Nabi kita adalah rahmat bagi seluruh alam.
Adapun sisi kontradiktif yang ada dalam pikiran saya, bahwasanya masalah-masalah di atas termasuk perkara-perkara badahiy,[2]
yang jelas dan lebih jelas dari matahari pada siang hari. Kemudian,
tiba-tiba kita harus menjelaskannya lagi sebagai wujud pembelaan
terhadap Islam, penjelasan atas pemutar-balikan kenyataan tentang Islam,
dan penjelasan terhadap sebuah kondisi saat pandangan terhadap Islam
sudah berubah.
Tidak disangsikan lagi, ini merupakan sesuatu yang
merisaukan hati dan pikiran, kita menyaksikan fakta yang kontradiktif
untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang sudah diimani, permasalahan
yang jelas, yaitu agama ini (Islam) adalah rahmat, Allâh Maha Penyayang
dan Nabi kita Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga seorang
penyayang. Karenanya, saya memohon kepada Allâh agar berkenan menolong
kita dalam memahami makna ini dan mengamalkannya.
Nash-nash dari al-Qur‘an dan Sunnah Nabawiyah yang
menguatkan topik ini dan memantapkan penjelas ini sangatlah banyak,
tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, kita harus menyebutkan sebagian,
agar hati menjadi tenang dalam kebenaran. Dan akal pikiran serta jiwa
merasa berbahagia dengan hidayah.
Nash yang paling agung yaitu, Allâh mensifati
diri-Nya sendiri bahwa Dia Dzat Yang Maha Penyayang. Sifat dengan nama
ini, banyak terdapat di dalam al-Qur‘an. Cukuplah bagi Anda, sebuah nash
yang Anda baca berulang kali dalam shalat sehari semalam sebanyak lebih
dari sepuluh kali, agar pemahaman terhadap makna ini tertanam dan
tertancap dalam hati dan perasaan.
Allâh Ta'ala berfirman :

Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(Qs. al-Fatihah : 1-3)
Segala puji bagi Allâh, Rabb semesta alam.
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(Qs. al-Fatihah : 1-3)
Anda mengulanginya pada tiap raka’at, membaca basmalah dan hamdalah (ayat 1 dan 2 surat al-Fatihah), sehingga gambaran makna ini dan juga realisasinya, baik secara ilmiah atau amaliah bisa dilakukan (secara bersamaan) dalam satu waktu.
Allâh Ta'ala berfirman :

(Nabi Muhammad) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.
(Qs. at-Taubah : 128)
(Qs. at-Taubah : 128)
Nabi kita rahim (penyayang), sebagaimana juga Rabb kita ar-Rahim (Maha Penyayang). Akan tetapi, rahim (kasih-sayang) nya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam penghulu seluruh Bani Adam, sesuai dengan kebesaran beliau dan sifat kemanusiaannya. Sedangkan ar-Rahim (penyayang) nya Allâh Ta'ala sesuai dengan keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya.
Jadi rahmat (kasih-sayang) merupakan sifat Allâh
Ta'ala dan sifat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Allâh dan
RasulNya menginginkan agar rahmat ini menjadi nyata di muka bumi. Karena
din (agama) ini merupakan din rahmat.
Allâh Ta'ala berfirman :

Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Qs al-Anbiya’/21 : 107)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Qs al-Anbiya’/21 : 107)
Allâh Ta'ala tidak mengatakan
“ ... sebagai rahmat bagi kaum Mukminin, ”
namun Allâh Ta'ala mengatakan:
“rahmat bagi seluruh alam,”
bukan hanya manusia; bahkan rahmat ini terasa juga
pada alam lain, yaitu alam jin dan malaikat, sebagaimana Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyampaikan tentang dirinya :

Aku adalah rahmat yang dihadiahkan. [3]
Banyak nash dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menegaskan kepada kaum Mukmin -kaum yang menyambut seruan Allâh dan Rasul-Nya, yang mengimani hukum Allâh dan Rasul-Nya, dan tunduk kepada hukum Allâh dan RasulNya- agar menjadi orang-orang yang memiliki rasa kasih-sayang dan saling menyayangi, sehingga mereka akan disayangi oleh Allâh Ta'ala, bukan sekedar rahmat yang berbentuk angan-angan yang diimpikan oleh hati dan dilantunkan oleh lisan. Kalau hanya sekedar itu, maka ini bisa dilakukan oleh semua orang.
Allâh Ta'ala berfirman :

Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.
Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
(QS ash-Shaf/61 : 2-3)
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat.
Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
(QS ash-Shaf/61 : 2-3)
Allâh Ta'ala menginginkan kita menjadi orang-orang yang menyayangi, saling menyayangi dan disayangi; bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi (dibuktikan) dengan amal; bukan sekedar ungkapan, akan tetapi (diwujudkan) dengan perbuatan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang.
Sayangilah orang yang ada di muka bumi,
niscaya Dzat yang ada diatas langit (Allâh) akan menyayangi kalian.[4]
Sayangilah orang yang ada di muka bumi,
niscaya Dzat yang ada diatas langit (Allâh) akan menyayangi kalian.[4]
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :

Berbuat kasih-sayanglah kalian, pasti kalian akan disayangi. [5]
Sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Orang yang tidak memiliki rasa kasih-sayang, tidak akan disayang. [6]
Semua nash di atas dan yang lainnya menegaskan makna rahmat, supaya membumi dalam kehidupan dan sistem yang dilaksanakan; saling menyayangi satu dengan yang lain, saling berlemah-lembut, saling menolong, terutama kepada orang yang diberi taufik oleh Allâh, dan diberi petunjuk untuk memeluk Islam dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Rahmat ini tidak akan bisa diwujudkan secara benar,
kecuali dengan ilmu yang bermanfaat berlandaskan al-Qur‘an dan Sunnah
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Adapun rahmat tanpa dilandasi
ilmu (tetapi dilandasi kejahilan) hanyalah sebuah perasaan yang berkutat
di dalam dada, terkadang tidak sesuai dengan tempatnya; menjadi tidak
jelas, dan ketidakjelasan ini membuahkan kesalahan besar.
Oleh karena itu Ahlus Sunnah itu berasal dari ahli ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullâh :
“Ahlus Sunnah adalah orang yang paling tahu tentang al-haq (kebenaran) dan paling sayang terhadap makhluk”.
Rasa kasih-sayang ini menuntut kita agar memberikan
nasihat kepada orang lain, berlemah-lembut kepada mereka, dan menuntut
Anda agar memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada
Allâh Ta'ala, kembali ke jalan Allâh sebelum mereka meninggal. Rasa
kasih-sayang (rahmat) ini menuntut Anda untuk memiliki rasa kepedulian
(terhadap keselamatan makhluk) yang Anda ambil dari sifat Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang diberikan Allâh Ta'ala kepada beliau
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, yaitu:

…(Rasulullah) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.
(QS at Taubah : 128)
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.
(QS at Taubah : 128)
Semangat ini semestinya diiringi kelembutan dan kasih-sayang, yang merupakan ciri terbesar dan paling agung din (agama) ini, bukan kekasaran dan kekakuan, tidak dibarengi sikap ekstrim atau sikap berlebihan, tetapi, dengan kelembutan yang menjadi simbol agama ini. Agar tidak ada orang yang berprasangka dan menduga bahwa rahmat (rasa kasih-sayang) ini hanya untuk kaum Muslimin saja, atau berlaku hanya di kalangan kaum Muslimin (saja), sehingga menyeretnya kepada kebatilan, maka saya perlu menyebutkan beberapa nash dari hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menerangkan rahmat ini dan cakupannya. Rahmat ini bukan hanya bagi kaum Muslimin saja, akan tetapi juga bagi orang-orang kafir; bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk bangsa hewan sekalipun.
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah
pemimpin para da’i (mubaligh) dan pemimpin orang-orang yang bersabar
terhadap berbagai macam siksa dan cercaan. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersabar menghadapi permusuhan dan penyiksaan, serta mendoakan kebaikan
atas pelakunya. Ketika orang-orang kafir dahulu melukai kepala beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
membuat beliau mengeluarkan darah, dan saat mereka mematahkan gigi
beliau, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak berdoa kepada Allâh
Ta'ala agar memberikan balasan buruk kepada mereka, tetapi, beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam hanya menginginkan rahmat buat mereka, karena beliau adalah rahmat.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berdoa saat itu :

Ya, Allâh. Ampunilah kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui. [7]
Padahal beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam disiksa dan disakiti oleh mereka.
Bahkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Tidak ada seorang pun yang disakiti di jalan Allâh
sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku.[8]
sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku.[8]
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan kesabarannya mengatakan:

Semoga Allâh mengeluarkan kaum yang mentauhidkan Allâh
dari tulang punggung (keturunan) mereka.[9]
dari tulang punggung (keturunan) mereka.[9]
Kesabaran beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berperan besar dalam penyebaran din ini, menempati andil besar dalam membimbing umat melalui amal nyata, bukan sekedar teori sebagaimana yang dikatakan pada masa ini. Bahkan, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersifat rahim (memiliki rasa sayang) dalam situasi peperangan dan sedang berhadapan dengan para musuh Islam.
Peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan,
akan tetapi perang penebusan; peperangan untuk menebarkan sendi-sendi
kasih-sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan
tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk
agama Islam, kedua adalah membayar jizyah (pembayaran sebagai ganti
jaminan keamanan), dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin.
Jika orang-orang kafir tidak mempedulikannya, tetap mengganggu dan
menyakiti kaum Muslimin, maka mereka harus diperangi, dan ini pun harus
dengan perintah dari penguasa dan para ulama yang saling bahu-membahu
dalam menolong din Allâh ini. Tetapi, kalau yang berinisiatif
mengobarkan peperangan adalah individu-individu, maka perlu dimengerti,
bahwa masalah memobilisasi perang bukanlah hak per individu.
Allâh Ta'ala berfirman :

Dan perangilah di jalan Allâh orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(Qs al-Baqarah/2 : 190)
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas,
karena sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(Qs al-Baqarah/2 : 190)
Inilah sendi-sendi din Islam dalam keadaan damai maupun perang, juga ketika sedang berhadapan dengan musuh. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam senantiasa mengarahkan para komandan supaya berbuat rahmat (kasih sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang).
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
"Janganlah kalian
membunuh anak kecil, orang yang sudah renta, jangan membunuh para rahib
di gereja, dan janganlah kalian mematahkan pepohonan. [10]
Allâhu Akbar!!! Inilah akhlak Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam, inilah karakter beliau. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan membabi buta,
apatah lagi menjadi tujuan, atau menjadi sesuatu yang digemari atau yang
beliau perintahkan.
Pembunuhan dengan membabi-buta tidak pernah diridhai
oleh Rabb kita dan Rasul kita Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Bagaimana mungkin meridhai? Pembunuhan dengan membabi-buta, hanya akan
mendatangkan masalah dan tertumpahnya darah yang sangat disesalkan hati
nurani manusia, apalagi oleh Allâh Ta'ala dan Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam .
Dengan akhlak dan sendi-sendi ini, Islam mendapatkan
keutamaan, Islam menjadi yang terdepan dan memiliki peran dalam
menancapkan pondasi, atas apa yang mereka sebut menyuarakan hak-hak
asasi manusia dan yang mereka sebut hak-hak asasi hewan. Sebelum ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan, sebelum peradaban Barat, dan sebelum
sarana komunikasi mengalami perkembangan yang saat ini dirasakan oleh
berbagai belahan dunia, Islam terlebih dahulu menyuarakan hak-hak
manusia dan hak-hak hewan.
Bagaimanapun mereka berusaha mendahului, berusaha
mengunggulkan peradaban mereka dan berusaha merealisasikan makna-makna
dan ajaran-ajaran ini, maka Islam tetap yang terdepan. Islam terdepan
dalam menanamkan sendi-sendi yang luhur, dan selanjutnya
merealisasikannya dalam kehidupan nyata, dalam sejarah masa lalunya,
sekarang ini dan pada masa yang akan datang, insya Allâh Ta'ala.
Bukankah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Sesungguhnya Allâh telah mewajibkan kalian berbuat baik kepada segala sesuatu.
Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum qishash),
maka perbaikilah cara pelaksanaannya.
Jika kalian melakukan penyembelihan hewan,
maka berbuat baiklah dalam penyembelihan.
Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya
dan menyenangkan binatang sembelihannya.[11]
Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum qishash),
maka perbaikilah cara pelaksanaannya.
Jika kalian melakukan penyembelihan hewan,
maka berbuat baiklah dalam penyembelihan.
Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya
dan menyenangkan binatang sembelihannya.[11]
Inilah akhlak yang ditampilkan dalam mu’amalah seorang muslim, mu’amalah dalam Islam, hingga dalam hal pemotongan hewan. Lalu bagaimana dalam mu’amalah dengan manusia yang diterangkan sifatnya oleh Allâh Ta'ala :

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
(Qs. al-Israa’/17 : 70)
(Qs. al-Israa’/17 : 70)
Dengan apa Allâh memuliakan mereka? Dengan apa Allâh mengunggulkan mereka? Tidak lain, kecuali dengan menunjukkan mereka kepada din Allâh yang haq, memberikan petunjuk kepada mereka agar menjadi da’i menuju jalan Allâh Ta'ala. Sehingga mereka menjadi orang yang shalih dan mengadakan perbaikan bagi yang lain. Ini merupakan penghargaan yang teramat tinggi. Ini pulalah yang masih banyak, bahkan kebanyakan hilang dari manusia, kecuali manusia mau bertaubat kepada Allâh. Dan ini, jika Allâh tidak memberikan pentunjuk, maka tidak akan ada yang memberikan petunjuk selain Allâh Ta'ala .
Supaya gambaran ini menjadi sempurna dan kebenaran
menjadi jelas, saya perlu mengingatkan, bahwa makna rahmat
(kasih-sayang) dan lemah-lembut tidaklah bertentangan dengan ‘izzah
(keperkasaan) seorang muslim. Rasa kasih-sayang seorang muslim tidak
boleh menyebabkannya tunduk, kecuali kepada al-haq (kebenaran) dan
(tidak boleh) merendahkan diri, kecuali kepada kaum Muslimin. Rasa
kasih-sayang memiliki tempat tersendiri; begitu juga dengan ‘izzah.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Ada tiga hal,
barangsiapa memiliki ketiga hal ini,
maka dia akan merasakan manisnya iman ...
(lalu beliau n menyebutkannya, salah satunya yaitu) ...
tidak mau kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya dari kekufuran,
sebagaimana dia tidak mau dicampakkan ke dalam api. [12]
barangsiapa memiliki ketiga hal ini,
maka dia akan merasakan manisnya iman ...
(lalu beliau n menyebutkannya, salah satunya yaitu) ...
tidak mau kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya dari kekufuran,
sebagaimana dia tidak mau dicampakkan ke dalam api. [12]
Ini termasuk ‘izzah seorang muslim dengan keimanannya, tidak tunduk kepada selain Allâh Ta'ala.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga bersabda :

Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allâh,
daripada seorang mukmin yang lemah.
Dan masing-masing memiliki kebaikan.[13]
daripada seorang mukmin yang lemah.
Dan masing-masing memiliki kebaikan.[13]
Masing-masing mendapatkan kebaikan sesuai dengan kekuatan (yang dimilikinya).
Jadi kekuatan, perasaan tinggi, merasa perkasa, (itu)
memiliki tempat tersendiri. Sama sekali tidak bertentangan dengan
ketundukan seorang muslim kepada Rabb-nya, bukan tunduk kepada musuhnya.
Sifat kasih-sayang ini tidak bertentangan dengan perintah Allâh Ta'ala kepada Nabi-Nya :

Hai Nabi,
perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik,
dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Tempat mereka adalah neraka Jahannam,
dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
(Qs. at-Tahrim/66 : 9)
perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik,
dan bersikap keraslah terhadap mereka.
Tempat mereka adalah neraka Jahannam,
dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
(Qs. at-Tahrim/66 : 9)
Juga tidak bertentangan dengan sifat yang diberikan Allâh Ta'ala kepada kaum Mukminin, bahwa mereka itu keras terhadap orang kafir.

Muhammad itu adalah utusan Allâh
dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir
(QS al Fath : 29)
dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir
(QS al Fath : 29)
Ketegasan sikap yang terdapat dalam firman Allâh Ta'ala di atas memiliki saat dan tempat tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa tempatnya adalah pada urutan ketiga, bukan urutan pertama. Karena orang yang tidak mau menerima ajakan masuk Islam, pada tahapan pertama; dan tidak menghiraukan peringatan, urutan kedua; berarti dia adalah orang yang enggan menerima kebenaran dan berlaku semena-mena terhadap makhluk, maka dia berhak mendapatkan sikap keras ini. Dan dalam sikap keras terdapat pelajaran bagi orang-orang yang lain.
Bukankah Allâh Ta'ala berfirman :

Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka,
supaya mereka mengambil pelajaran. (Qs. al-Anfal/8 : 57)
supaya mereka mengambil pelajaran. (Qs. al-Anfal/8 : 57)
Begitulah, sikap keras ini juga mengandung pembelajaran tentang rahmat (kasih-sayang), supaya orang-orang yang sombong itu berhenti dari kesombongannya. Karena pelajaran bagi mereka sudah cukup untuk mendidik jiwa.
Untuk memperjelas, saya bawakan permisalan (dan
permisalan yang paling tinggi hanyalah milik Allâh). Tidakkah Anda
perhatikan, saat Anda mengajari anak Anda dan mendidiknya? Jika ia
gagal, Anda memberikan peringatan. Jika dia tetap dalam keadaannya, maka
Anda akan memukulnya. Ya, itu memang sebuah pemukulan yang menyakitkan,
akan tetapi, (hal) itu untuk tujuan pendidikan, bukan pukulan yang
mengandung dendam, tetapi, sebuah pukulan yang mengandung kebaikan.
Begitu pula sikap keras dalam Islam, dia memiliki saat dan tempat
tersendiri yang mengandung kasih-sayang dan sebagai realisasi dari
firman Allâh Ta'ala :

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Qs. al-Anbiya’/21 : 107)
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Qs. al-Anbiya’/21 : 107)
Akhirnya, saya memohon kepada Allâh Ta'ala, agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang penyayang dan menjadi orang-orang yang mendapatkan kasih sayang, menjadi orang yang mengajak manusia menuju Kitab Allâh, menjadi orang yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, (menjadi) orang yang berpegang teguh dengan tali Allâh, menjadi orang yang tunduk kepada tauhid-Nya. Sesungguhnya Allâh Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

(*) |
Terjemahan ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta pada tanggal 19 Februari 2006 M
|
[1] | Aksioma, sudah menjadi hal yang diterima. |
[2] | HR Imam ad Darimi |
[3] |
HR Imam Tirmidzi. |
[4] | HR Imam Ahmad. |
[5] | HR Imam Bukhari dan Imam Muslim. |
[6] | HR Imam Bukhari dan Imam Muslim. |
[7] |
Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, yaitu :
![]() Dan sungguh aku pernah diganggu di jalan Allâh, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya. |
[8] |
Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.![]() Akan tetapi, saya berharap semoga Allâh mengeluarkan orang yang beribadah kepada Allâh semata dan tidak melakukan kesyirikan, dari tulang punggung mereka. |
[9] |
Hadits yang senada, terdapat dalam riwayat Abu Dawud :![]() dan janganlah kalian membunuh orang tua renta, anak kecil dan juga kaum wanita. |
[10] |
HR Imam Tirmidzi, Imam Nasa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
|
[11] |
HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
|
[12] | HR Imam Muslim. |
(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)
0 komentar:
Posting Komentar