(Oleh: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA)
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks
shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât,
shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan
kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks
shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan
redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya,
shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk
Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’rûf.[1]
Selain itu, mereka juga sangat ‘kreatif’ dalam
membuat aturan-aturan bagaimana membaca berbagai jenis shalawat
tersebut, baik dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah
(keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada
landasannya dari syariat.
Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang
paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang
berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun
tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua
ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya
karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur
dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat
tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.
Apakah shalawat Nâriyyah itu ? Siapakah pencipta shalawat Nâriyyah ? Benarkah pengarangnya adalah sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ? Apakah membaca shalawat Nâriyah berarti mengagungkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ? Bagaimana nasehat ulama dalam mengagungkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ?
Silahkan simak pembahasannya di Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun 2010 (Oktober 2010).

[1] |
Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma’had
at-Tahdîb Ngoro Jombang ‘Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam
Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha.
|
0 komentar:
Posting Komentar