(Oleh: Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin)
Bagi kalangan tertentu, bulan Ramadhân yang penuh
berkah ini merupakan bulan beban. Ibadah-ibadah di bulan Ramadhân
terutama ibadah puasa dianggap sebagai penghambat kesempatan. Meskipun
dia tetap menunaikan ibadah puasa, namun tidak dengan sepenuh hati.
Sementara kalangan yang lain menganggap, ibadah puasa
di bulan Ramadhân merupakan rutinitas yang menjanjikan dan berakhir
menyenangkan. Sebab sesudah Ramadhân ada hari raya, 'Iedul Fitri.
Para pedagang, sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhân
tiba, mereka sudah bersiap melakukan stock barang sebagai persiapan
untuk meraup keuntungan melimpah di bulan suci ini. Bahkan banyak
pedagang musiman yakni khusus bulan Ramadhân. Para karyawan, pegawai,
pekerja, buruh dan lain-lain yang bekerja di luar kota pun punya harapan
untuk cuti menjelang hari raya sampai dengan beberapa hari sesudah hari
raya.
Sedikit orang yang benar-benar memanfaatkan bulan
Ramadhân sebagai kesempatan emas meraup pahala dan menghapus dosa dengan
cara-cara yang benar sesuai tuntunan Nabi Besar Muhammad Shallallâhu
'Alaihi Wasallam.
Begitu pula tentang hari raya 'Iedul Fitri. Sudah
terbentuk opini di kalangan banyak kaum Muslimin bahwa hari raya 'Iedul
Fitri adalah saat bersenang-senang, seakan baru lepas dari beban puasa
selama satu bulan penuh. Sebagian lagi berdalih bahwa hari raya 'Iedul
Fitri adalah saat untuk menikmati keuntungan melimpah dari hasil dagang
selama Ramadhân.
Yang jelas, menurut anggapan sementara sebagian kaum
Muslimin, 'Iedul Fitri adalah hari bersenang-senang sampai puas, seakan
tanpa batas. Oleh karena itu, banyak kaum Muslimin yang menyusun
agenda-agenda kegiatan, tanpa memperdulikan aturan syariat.
Agenda-agenda berisi maksiat, foya-foya, hiburan dan tontonan di
pantai-pantai, taman-taman dan berbagai tempat menarik lainnya, bahkan
tempat-tempat yang sepi. Laki-laki dan perempuan serta muda-mudi yang
bukan mahram, bukan pula suami isteri, bercampur aduk menjadi satu.
Banyak di antara mereka yang berpasang-pasangan berdua-duaan, bergandeng
tangan dan seterusnya untuk melampiaskan kegembiraan dan menikmati
kesenangan yang penuh dosa.
Tidak dipungkiri bahwa 'Iedul Fitri adalah hari
gembira bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhân. Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan:
manakala berbuka puasa, ia bergembira dengan buka puasanya,
dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya.
(HR. Bukhari dan Muslim)[1]
manakala berbuka puasa, ia bergembira dengan buka puasanya,
dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya.
(HR. Bukhari dan Muslim)[1]
Tetapi gembira yang dimaksudkan di sini adalah kegembiraan yang tidak keluar dari koridor syariat.
Imam Nawawi rahimahullâh menerangkan makna gembira dalam hadits di atas dengan menukil perkataan para ulama,
“Adapun kegembiraan orang
yang berpuasa ketika berjumpa dengan Rabbnya, ialah karena ia melihat
pahala puasanya dan karena ia teringat akan nikmat taufîk yang
dianugerahkan Allâh kepadanya hingga ia dapat berpuasa. Sedangkan
kegembiraannya pada saat berbuka puasa adalah karena ia dapat dengan
sempurna menyelesaikan ibadahnya, dapat dengan selamat terhindar dari
hal-hal yang membatalkan puasanya dan memiliki harapan mendapat pahala
dari Allâh”[2]
Di sisi lain al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni
rahimahullâh menukil pernyataan sebagian ulama tentang makna gembira
tersebut sebagai berikut,
“Al-Qurthubi rahimahullâh
mengatakan, ‘maknanya, gembira dengan sebab rasa lapar dan dahaga telah
hilang, karena sudah diperbolehkan berbuka puasa'. Ini adalah
kegembiraan yang wajar dan mudah dipahami.”
Sementara sebagian ulama lain berpendapat, bahwa
orang yang berpuasa gembira dengan buka puasanya karena kegiatan puasa
serta ibadahnya telah berhasil dengan baik. Ia merasa diringankan serta
mendapat pertolongan dari Allâh Ta'ala untuk menunaikan puasa pada masa
yang akan datang.
Selanjutnya al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullâh menyimpulkan,
“Aku katakan, ‘Membawa
pengertian gembira di sini kepada pengertian yang lebih umum dari makna
yang telah disebut di atas, tidak mengapa. Setiap orang yang berpuasa,
(ketika berbuka) akan bergembira sesuai dengan keadaan masing-masing,
sebab keadaan orang terkait ibadah puasa berbeda-beda. Di antara mereka,
ada yang kegembiraan mereka itu hukumnya mubah yaitu kegembiraan
manusiawi yang wajar. Dan ada pula yang kegembiraan mereka itu sunnah,
yaitu kegembiraan yang disebabkan oleh hal-hal yang sudah disebutkan di
atas (seperti bergembira karena bisa menunaikan ibadah puasa mampu
dengan baik atas pertolongan Allâh Ta'ala -pent.)'”. [3]
Gembira pada saat berbuka puasa, bisa juga berarti
merasa gembira saat berbuka puasa di setiap matahari tenggelam. Bisa
pula berarti gembira manakala berbuka puasa di saat 'Iedul Fitri.
Wallahu A’lam. Yang jelas, secara manusiawi, orang yang berpuasa akan
merasa lega dan bergembira pada saat berbuka puasa pada setiap Maghrib
di bulan Ramadhân, maupun pada saat hari 'Iedul Fitri.
Akan tetapi, kegembiraan itu hendaknya tidak
membuatnya terlena sampai terjerumus ke dalam perilaku maksiat kepada
Allâh Ta'ala dan merusak ibadah yang telah dilakukannya selama bulan
Ramadhân. Mestinya, kegembiraan itu mendorong orang untuk bersyukur dan
semakin bersemangat dalam beribadah kepada Allâh Ta'ala Oleh sebab itu,
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam antara lain memberikan dorongan semangat untuk mengiringi puasa Ramadhân dengan puasa 6 hari di bulan Syawal. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :

Siapa yang berpuasa Ramadhân,
kemudian ia iringi puasa Ramadhân itu dengan puasa enam hari di bulan Syawal,
niscaya (pahala) puasanya laksana puasa satu tahun.
(HR. Muslim, Abu Dâwud, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah)[4]
kemudian ia iringi puasa Ramadhân itu dengan puasa enam hari di bulan Syawal,
niscaya (pahala) puasanya laksana puasa satu tahun.
(HR. Muslim, Abu Dâwud, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah)[4]
Berkenaan dengan hadits ini, Imam Nawawi rahimahullâh menjelaskan,
“Para ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan, “Yang afdhal
(lebih utama-red) ialah apabila puasa enam hari bulan Syawal dilakukan
berturut-turut langsung sesudah hari raya (maksudnya, hari kedua-pen.).
Namun jika puasa enam hari itu dilaksanakan dengan terpisah-pisah atau
ditunda sampai akhir Syawal, maka keutamaan berpuasa enam hari bulan
Syawal itu tetap tercapai. Sebab itu masih bisa disebut 'mengiringi
puasa Ramadhân dengan puasa enam hari di bulan Syawal'”.[5]
Kenapa menunaikan ibadah puasa Ramadhân yang diiringi
dengan puasa enam hari di bulan Syawal memiliki nilai seperti berpuasa
satu tahun penuh ? Imam Nawawi rahimahullâh menerangkan,
“Para Ulama mengatakan,
‘Puasa-puasa ini bernilai seperti berpuasa satu tahun penuh, tidak lain
karena setiap kebaikan akan dilipatkan menjadi sepuluh kali kebaikan.
Puasa Ramadhân dilipatkan menjadi sepuluh bulan, sedangkan 6 hari bulan
Syawal, dilipatkan menjadi dua bulan'”.[6]
Bagian terakhir dari perkataan Imam Nawawi rahimahullâh di atas selaras dengan sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Barangsiapa yang berpuasa enam hari sesudah hari 'Iedul Fitri,
maka seakan-akan puasanya itu sempurna satu tahun;
Siapa yang melakukan satu kebaikan,
maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan itu.
(HR. Ibnu Majah)[7]
maka seakan-akan puasanya itu sempurna satu tahun;
Siapa yang melakukan satu kebaikan,
maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan itu.
(HR. Ibnu Majah)[7]
Alangkah indah dan beruntungnya seseorang jika
kegiatan-kegiatan yang penuh dengan maksiat atau yang bepotensi maksiat
itu diganti dengan kegiatan ibadah yang jelas dituntunkan dalam syariat.
Terlebih lagi, pasca Ramadhân. Janganlah merusak ibadah selama Ramadhân
dengan hura-hura dan maksiat, apalagi bid’ah. Dengan demikian, opini
bahwa hari raya 'Iedul Fitri adalah hari bersenang-senang dan bergembira
ria untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, foya-foya serta dosa
adalah opini yang salah, dan harus diluruskan.
Wallahu al-Musta’aan wa ‘Alaihi at-Tuklân

[1] |
Shahihul Bukhâri/Fathul Bâri, 4/118, no. 1904, Shahih Muslim,
Syarhun Nawawi, Khalîl Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, 8/272, no. 2700
|
[2] | Ibid. hlm. 273 |
[3] | Fathul Bâri, Syarh Shahîhil Bukhâri, 4/118 |
[4] |
Shahih Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/296-297, no. 2750,
Shahîh Sunan Abi Dâwud, II/77, no. 2433, Shahîh Sunan at-Tirmidzi
I/400-401, no. 759 dan Shahih Sunan Ibnu Mâjah, II/77, no. 1403. Semua
kitab Shahih Sunan ini adalah karya Syaikh al-Albâni rahimahullâh, penerbit Maktabah al-Ma’arif Lin Nasyr, Riyadh.
|
[5] |
Shahih Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/297
|
[6] | Ibid. |
[7] | Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, II/77, no. 1402 |
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (04-05)/Tahun XIV)
0 komentar:
Posting Komentar