(Oleh: Ustadz Abu Ihsan al-Atsary)
Sungguh malang nasib para koruptor itu. Kekayaan
hasil korupsi yang mereka kumpulkan ternyata tidak membawa manfaat
apapun bagi mereka. Harta tidak berkah itu justru menjadi sumber
malapetaka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan ancaman hukuman yang
berat. Di akhirat kelak telah menunggu siksa yang keras bagi mereka.
Coba lihat akibat buruk perbuatannya, semua manusia
mengutuknya dan mendoakan keburukan atas dirinya. Harta yang
diperolehnya juga tidak membawa berkah. Berapa banyak koruptor yang mati
secara tersiksa karena penyakit yang dideritanya, harta hasil
kejahatannya itu habis terkuras sedikit demi sedikit untuk biaya
pengobatan.
Sebagian orang yang silau dengan harta yang menumpuk
mengira para koruptor itu benar-benar bahagia. Mereka mengira para
koruptor itu bisa mendapatkan apa saja dengan harta yang melimpah. Ini
adalah penilaian yang keliru. Siapa bilang hidup para koruptor itu
enak!? Hidup mereka diliputi rasa takut dan khawatir. Takut dan khawatir
kejahatan mereka terbongkar. Hati mereka galau dan senantiasa dalam
kekalutan. Itulah hakikat dosa, yaitu sesuatu yang mengganjal dalam
hatimu dan engkau khawatir orang lain mengetahuinya.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

"Dosa adalah segala yang mengganjal dalam dadamu
dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya."[1]
dan engkau tidak suka orang lain mengetahuinya."[1]
Bahkan untuk menutupinya mereka rela melakukan apa
saja walaupun harus berbuat kezhaliman. Begitulah tabi’at kejahatan,
bila pelakunya tidak segera bertaubat, maka kejahatannya itu akan
melahirkan kejahatan yang lain pula.
Begitulah kalau sudah memakan hasil korupsi, bukan
kepuasan yang dirasakan jiwanya namun justru sebaliknya, ia akan semakin
rakus dan tamak layaknya orang kesurupan. Sehingga yang menjadi motttt
onya adalah ‘tiada hari tanpa korupsi’ . Seperti pemakan riba yang
diumpamakan oleh Allâh Ta'ala seperti orang yang kerasukan setan.
Tabiat para koruptor ini pun menjadi liar dan ganas,
tak pandang bulu siapa dan apa yang akan menjadi santapannya.
Sampai-sampai dana pembangunan tempat ibadah pun tega ditilep. Sungguh
keterlaluan. Rasa malu berbuat jahat sudah sirna dari hatinya.
Akibatnya, dia berbuat semena-mena. Mata hatinya tertutup bahkan buta,
sehingga tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk. Tolok
ukurnya serba terbalik, yang jahat dianggap baik dan yang baik di anggap
jahat.
Tidakkah para koruptor itu merasa kasihan dan iba
melihat anak-anaknya yang bakal menyandang sebutan buruk sepeninggal
dirinya? Akan melekat pada anaknya sebutan ‘anak koruptor’!
Para koruptor itu jika mengangkat tangannya
tinggi-tinggi berdo'a kepada Allâh Ta'ala bahkan sampai meraung dan
menangis, namun do’anya tidak dikabulkan oleh Allâh Ta'ala. Bagaimana
do’anya bisa dikabulkan, sementara makanan, minuman dan pakaian yang
dikenakannya diperoleh dengan cara yang diharamkan yaitu dengan cara
korupsi. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan ?
...........(Silahkan simak selengkapnya di Majalah-As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV)
0 komentar:
Posting Komentar