(Oleh: Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari)
AHLU SUNNAH MENJADI INCARAN GOLONGAN LAIN
Benteng kaum Muslimin
diserang dari dalam, kira-kira begitulah ungkapan yang dirasakan umat
ini atas kejahatan ahli bid'ah khususnya Syi'ah terhadap Islam,
Sunnah dan Ahlu Sunnah. Pengkhianatan dan kekejaman yang dilakukan
oleh ahli bid'ah terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat banyak
terjadi.
Ini tidak lain dilandasi
oleh keyakinan mereka yang mengkafirkan dan menghalalkan darah
orang-orang yang berada di luar kalangan mereka. Kurangnya
penghormatan mereka terhadap kehormatan, harta dan darah kaum Muslimin
dan kesembronoan mereka dalam menjatuhkan vonis kafir terhadap
siapa saja yang tidak sepaham menjadi alasan mereka melakukan semua
itu.
Tercatat di awal sejarah
Islam dua kelompok bid'ah yang melakukan hal tersebut, yaitu Syi'ah
dan Khawârij. Akibat dari tindakan pengkhianatan mereka tersebut
banyak Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum yang terbunuh. Mereka
tak segan-segan menghalalkan darah Sahabat radhiyallâhu'anhum, para
Ulama dan orang shalih dengan alasan yang mengada-ada tanpa rasa takut
dan rasa malu sedikit pun terhadap Allâh Ta'âla.
Sejak awal kemunculan
kelompok-kelompok bid'ah ini yang selalu menjadi incaran dan
targetnya adalah Ahlu Sunnah. Kelompok-kelompok bid'ah itu rela
melupakan perbedaan-perbedaan di antara mereka walaupun dalam masalah
yang prinsipil untuk bekerja sama dalam mematikan Sunnah dan
menghancurkan Ahlu Sunnah, begitulah sejarah berbicara. Khususnya
pada abad ke-4 Hijriyah ketika mulai berdirinya daulah Syi'ah di
beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah pegunungan. Seiring dengan
semakin gencarnya gerakan dakwah mereka ditambah lagi semakin
lemahnya daulah Ahlu Sunnah pada masa itu.
SYI'AH, MUSUH DALAM SELIMUT
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh telah menjelaskan fenomena ini dalam kitabnya ketika menyebutkan biografi salah seorang tokoh Syi'ah yaitu Ibnu Nu’mân :
“Ibnu
Nu’mân ini adalah seorang tokoh Syi'ah dan pembela mereka. Ia punya
kedudukan di kalangan penguasa-penguasa daerah karena mayoritas
penduduk di daerah-daerah tersebut pada masa itu mulai condong kepada
tasyayyu’ (Syi’ah). Di antara muridnya adalah asy-Syarîf ar-Râdhi
dan al-Murtadhâ.”[1]
Beberapa sekte, seperti
Ismâ’îliyah, Buwaihiyah, Qarâmithah dan lain-lainnya memakai jubah
Syi'ah ini untuk meraih tujuannya. Contoh kasusnya adalah yang
terjadi di Afrika utara, salah seorang juru dakwah Syi'ah yang bernama
Husain bin Ahmad bin Muhammad bin Zakariya ash-Shan’âni yang berjuluk
Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i masuk ke wilayah Afrika seorang diri tanpa
harta dan tanpa satu pun orang yang mendampinginya. Ia terus melakukan
kegiatan dakwah di sana hingga ia berhasil menguasainya.[2]
Abu ‘Abdillâh asy-Syîi’i
inilah yang berhasil meyakinkan kaum Muslimin untuk menerima
‘Ubaidullâh al-Qaddah sebagai imam dakwah sehingga mereka
membaiatnya. Lalu ‘Ubaidullâh ini menggelari dirinya sebagai al-Mahdi
dan mendirikan daulah ‘Ubaidiyah yang kemudian lebih dipopulerkan dengan
sebutan sebagai daulah Fâthimiyyah. Padahal pada hakekatnya merupakan
daulah yang beraliran bathiniyah.
Di antara kejahatan yang
dilakukan oleh ‘Ubaidullâh ini, suatu kali kudanya masuk ke dalam
masjid. Lalu rekan-rekannya ditanya tentang hal itu, mereka menjawab:
“Sesungguhnya kencing dan kotoran kuda itu suci, karena ia adalah kuda al-Mahdi (yakni ‘Ubaidullâh)."
Pengurus masjid
mengingkari hal itu. Maka mereka pun membawanya ke hadapan‘Ubaidullâh
al-Mahdi, dan akhirnya ia menghabisi pengurus masjid tersebut.
Ibnu ‘Adzâra rahimahullâh berkata:
“Sesungguhnya
di akhir hayatnya ‘Ubaidullâh ini ditimpa sebuah penyakit yang
mengerikan yaitu adanya cacing yang keluar dari duburnya dan kemudian
memakan kemaluannya. Begitulah keadaannya hingga kematian
merenggutnya.”[3]
Abu Syâmah rahimahullâh berkomentar tentang‘Ubaidullâh ini dengan berkata:
“Ia
adalah seorang zindiq (kafir), khabîts (sangat buruk), dan merupakan
musuh Islam. Menunjukkan diri sebagai Syi'ah dan berupaya keras untuk
menghilangkan agama Islam. Ia banyak membunuh Fuqahâ’, ahli hadits,
orang-orang shalih dan banyak manusia lainnya. Anak keturunannya
tumbuh dengan pola pikir seperti itu dan apabila ada kesempatan mereka
akan menunjukkan taringnya, jika tidak maka mereka akan
menyembunyikan diri.”[4]
Adz-Dzahabi rahimahullâh berkata:
“Duhai kiranya kalau ia hanya seorang penganut Syi'ah saja, tetapi ternyata di samping itu ia juga seorang zindiq.”[5]
Para ulama yang telah
mereka bunuh di antaranya adalah Abu Bakar an-Nâbilisi, Muhammad bin
al-Hubulli, Ibnu Bardûn yang dibunuh oleh Abu ‘Abdillâh asy-Syî’i.
Sementara Ibnu Khairûn Abu Ja’far Muhammad bin Khairûn al-Mu’âfiri
tewas di tangan ‘Ubaidullâh al-Mahdi.
Di antara penguasa
mereka yang telah banyak membunuh para Ulama adalah al-‘Adhid,
penguasa terakhir Bani ‘Ubaid. Ibnu Khalikân rahimahullâh berkata tentang orang ini:
“Al-‘Adhid
ini orang yang sangat kental Syi’ahnya, sangat keterlaluan dalam
mencaci maki Sahabat Nabi, apabila ia melihat seorang Sunni (Ahlu
Sunnah), ia menghalalkan darahnya.”[6]
Salah satu sekte yang
menimpakan berbagai bala terhadap Ahlu Sunnah adalah Buwaihiyah. Sekte
ini dinisbatkan kepada Buwaihi bin Fannakhasru ad-Dailami
al-Fârisi. Berkuasa di Irak dan Persia lebih kurang satu abad ketika
kekhalifahan ‘Abbasiyah sedang melemah di Baghdad.
Sekte ini juga
menunjukkan kefanatikannya kepada ajaran Syi’ah. Bahkan mereka
memotivasi orang-orang Syi'ah di Baghdad untuk melakukan
tindakan-tindakan perlawanan terhadap Ahlu Sunnah. Hampir tiap
tahun terjadi pertikaian dan benturan-benturan antara kaum Syi'ah dan
Ahlu Sunnah. Sehingga banyak korban jiwa jatuh dan menimbulkan
kerugian materil yang besar, toko-toko dan pasar-pasar dibakar.
Untuk menunjukkan
hegemoni dan dominasi mereka atas Ahlu Sunnah, pada tahun 351H kaum
Syi'ah di Baghdad dengan dukungan dari Mu’izzud Daulah mewajibkan
masjid-masjid untuk melaknat Mu’awiyah radhiyallâhu'anhu dan tiga Khalifah Râsyid (Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radhiyallâhu'anhum). Sebuah ketetapan yang tak mampu dicegah oleh kekhalifahan ‘Abbasiyah.[7]
Bahkan pada tahun 352H,
Mu’izzud Daulah menyuruh kaum Muslimin untuk menutup toko-toko
mereka, mengosongkan pasar, meliburkan jual-beli dan menyuruh mereka
untuk meratap. Para wanita disuruh keluar tanpa penutup kepala dan
wajah dicoreng-moreng, lalu berkeliling kota sambil meratap dan
menampar-nampar pipi atas kematian Husain bin‘Ali radhiyallâhu'anhu.
Maka kaum Muslimin pun
melakukannya, sementara Ahlu Sunnah tidak mampu mencegahnya karena
banyaknya jumlah kaum Syi'ah dan kekuasaan kala itu berada di tangan
mereka (di tangan kaum Buwaihiyyun).[8]
Imam adz-Dzahabi rahimahullâh sampai berkomentar:
“Sungguh
telah terlantar urusan agama Islam dengan berdirinya daulah Bani
Buwaihi dan Bani ‘Ubaid yang bermadzhab Syi'ah ini. Mereka
meninggalkan jihad dan mendukung kaum Nasrani Romawi dan merampas
kota Madâin.”[9]
Salah satu sekte di
antara sekte-sekte Syi'ah adalah Syi'ah Ismâ’iliyah. Setelah wafatnya
Ja’far bin Muhammad ash-Shâdiq, kaum Syi'ah terpecah dua kelompok.
Satu kelompok menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Mûsâ
al-Kâzhim, mereka inilah yang kemudian disebut Syi'ah Itsnâ
‘Asyariyah (aliran Syi'ah yang meyakini adanya imam yang berjumlah
dua belas orang, red).
Dan satu kelompok lagi
menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang lain, yaitu Ismâ’il bin
Ja’far. Kelompok ini kemudian dikenal sebagai Syi'ah Ismâ’iliyah.
Kadang kala mereka dinisbatkan kepada madzhab bathiniyah dan kadang
kala dikaitkan juga dengan Qarâmithah. Akan tetapi, mereka lebih
senang disebut Ismâ’iliyah.[10]
Adapun Qarâmithah
sendiri adalah penisbatan kepada Hamdân Qirmith. Kemudian
pengikut-pengikutnya dikenal dengan sebutan Qarâmithah. Di antara
tokoh mereka yang menimpakan fitnah besar terhadap kaum Muslimin
adalah Abu Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Janâbi.
Mereka inilah yang
bersekutu bersama kaum Nasrani dan Tatar untuk melawan Islam dan kaum
Muslimin. Ketika mereka sudah memiliki kekuatan dan berhasil
mendirikan daulah Bahrain, mereka melakukan aksi-aksi yang membuat
bulu kuduk merinding; berupa perampasan, pembunuhan dan pemerkosaan.
Bahkan kekejaman seperti itu tidak pernah dilakukan oleh bangsa
Tatar maupun kaum Nasrani sekalipun.
Pada tahun 312H,
mereka menghadang kafilah haji yang hendak kembali ke Irak. Mereka
merampas kendaraan kafilah itu, bekal-bekal dan harta benda yang
mereka bawa, dan meninggalkan rombongan haji begitu saja sehingga
kebanyakan dari mereka mati kehausan dan kelaparan.[11]
Dan pada tahun 317H,
mereka menyerang jamaah haji di Masjidil Harâm, dan membunuhi para
jamaah yang berada dalam masjid lalu membuang mayat-mayat ke sumur
Zamzam. Mereka membunuh orang-orang di jalan-jalan kota Mekah dan
sekitarnya. Jumlah korbannya mencapai tiga puluh ribu jiwa. Bahkan
mereka merampas kelambu Ka’bah dan membagi-bagikannya kepada
pasukannya. Mereka menjarah rumah-rumah penduduk Mekah dan mencungkil
Hajar Aswad dari tempatnya untuk ia bawa ke Hajar (ibukota daulah
mereka di Bahrain).[12]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh merekam kekejaman yang dilakukan oleh Abu Thâhir al-Janâbi al-Bâthini ini dengan berkata:
“Ia
menjarah harta penduduk Mekah dan menghalalkan darah mereka. Ia
membunuhi manusia di rumah-rumah mereka hingga yang berada di
jalan-jalan. Bahkan menjagal banyak jamaah haji di Masjdil Haram dan
di dalam Ka’bah. Lalu pemimpin mereka, yakni Abu Thâhir –semoga Allâh
Ta'âla melaknatnya– duduk di pintu Ka’bah, sementara orang-orang
disembelihi di hadapannya dan pedang-pedang berkelebatan membantai
orang-orang di Masjidil Haram pada bulan haram (suci) di hari
Tarwiyah yang merupakan hari yang mulia. Sementara Abu Thâhir ini
berseru:
“ Aku adalah Allâh, Allâh adalah aku. Aku menciptakan makhluk dan akulah yang mematikan mereka."
Orang-orang
pun berlarian menyelamatkan diri dari kekejaman Abu Thâhir ini. Di
antara mereka bahkan ada yang bergantung pada kelambu Ka’bah. Namun
itu tidak menyelamatkan jiwa mereka sedikit pun. Mereka tetap
ditebas habis dalam keadaan seperti itu. Mereka dibunuhi meskipun
mereka sedang bertawaf…”
Beliau melanjutkan:
“Setelah
pasukan Qarâmithah ini melakukan aksi brutal mereka itu –semoga
Allâh melaknat mereka– dan perbuatan keji mereka terhadap para
jamaah haji, Abu Thahir ini menyuruh pasukannya agar melemparkan
mayat-mayat yang tewas ke sumur Zamzam. Dan sebagian lain dikubur di
tempat-tempat mereka di tanah haram bahkan di dalam Masjidil Haram.
Lalu kubah sumur Zamzam pun dirobohkan. Kemudian Abu Thâhir
memerintahkan agar mencopot pintu Ka’bah, melepaskan kelambunya, untuk
ia koyak-koyak dan bagikan kepada pasukannya.”[13]
Dan jangan lupa juga
pengkhianatan mereka terhadap Khalifah al-Musta’shim billâh yang
dilakoni oleh Muhammad bin al-Alqami dan Nâshiruddîn ath-Thûsi, yang
anehnya kedua orang ini dianggap pahlawan oleh orang-orang Syi’ah.
Keruntuhan kota Baghdad
yang kala itu merupakan ibukota Daulah Abbasiyah di tangan pasukan
Tatar tak lepas dari konspirasi yang dilakukan oleh Ibnul Alqami dan
ath-Thûsi. Hal ini didorong dendam kesumat Ibnul Alqami ini terhadap
Ahlu Sunnah. Pasalnya, pada tahun 656H terjadi peperangan hebat
antara Ahlu Sunnah dan Syi'ah yang berujung dengan takluknya kota
Karkh yang merupakan pusat kegiatan kaum Syi'ah dan beberapa rumah
sanak keluarga al-Alqami menjadi korban penjarahan.
Ia sangat berambisi
meruntuhkan kekuatan Ahlu Sunnah dan menggunakan segala cara untuk
mencapai tujuannya, walaupun harus bersekutu dengan pasukan musuh dan
berkhianat terhadap khalifah. Hal itu ia lampiaskan ketika ia
memegang jabatan kementrian bagi Khalifah al-Musta’shim billâh, ia
memberi jalan bagi pasukan Tatar untuk masuk Baghdad.
Peristiwa itu terjadi
pada tahun 656H. Ketika Hulago Khan dan pasukannya yang berjumlah
dua ratus ribu personil mengepung Baghdad dan menghujani istana
khalifah dengan anak panah. Pengamanan sekitar istana saat itu lemah
karena sebelum terjadinya peristiwa ini, Ibnul Alqami secara
diam-diam telah mengurangi jumlah personil tentara khalifah dengan
cara memecat sejumlah besar perwira dan mencoret nama mereka dari
dinas ketentaraan. Pada masa kekhalifahan sebelumnya, yaitu
Khalifah al-Mustanshir, jumlah pasukan mencapai 100.000 personil.
Sementara pada masa al-Musta’shim billâh jumlahnya menyusut menjadi
10.000 personil saja.
Kemudian Ibnul Alqami
mengirim surat rahasia kepada bangsa Tatar dan memprovokasi mereka
untuk menyerang Baghdad. Ia sebutkan dalam surat rahasia itu kelemahan
angkatan bersenjata Daulah Abbasiyah di Baghdad. Itulah sebabnya
bangsa Tatar dengan sangat mudah dapat merebutnya.
Ketika pasukan Tatar
mulai mengepung Baghdad sejak tanggal 12 Muharram 656H, saat itulah
Ibnul Alqami melakukan pengkhianatannya untuk kesekian kali. Dialah
orang pertama yang menemui pasukan Tatar. Lalu ia keluar bersama
keluarganya, pembantu serta pengikutnya pada saat-saat kritis itu
untuk menemui Hulago Khan dan mendapat perlindungan darinya.
Kemudian ia membujuk Khalifah agar ikut keluar bersamanya menemui
Hulagokan untuk mengadakan perdamaian, yaitu memberikan separoh hasil
devisa negara kepada bangsa Tatar.
Maka berangkatlah
Khalifah bersama para qadhi, Fuqâha’, tokoh-tokoh negara dan
masyarakat serta para pejabat tinggi negara lainnya dengan 700
kendaraan. Ketika sudah mendekati markas Hulago Khan, mereka ditahan
oleh pasukan Tatar dan tidak diizinkan menemui Hulago Khan kecuali
hanya Khalifah bersama 17 orang saja. Permintaan ini dipenuhi oleh
Khalifah. Ia berangkat bersama 17 orang sementara yang lain
menunggu.
Sepeninggal Khalifah,
sisa rombongan itu dirampok dan dibunuh oleh pasukan Tatar.
Selanjutnya Khalifah dibawa ke hadapan Hulago Khan seperti seorang
pesakitan yang tak berdaya. Kemudian atas permintaan Hulago Khan,
Khalifah kembali ke Baghdad ditemani oleh Ibnul Alqami dan
Nâshiruddîn ath-Thûsi. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat,
Khalifah mengeluarkan emas, perhiasan dan permata dalam jumlah yang
sangat banyak. Namun tanpa disadari oleh Khalifah, para pengkhianat
dari Syi'ah ini telah membisiki Hulago Khan agar menampik tawaran
damai dari Khalifah.
Ibnul Alqami berhasil
meyakinkan Hulago Khan dan membujuknya untuk membunuh Khalifah.
Dan tatkala Khalifah kembali dengan membawa perbendaharaan negara yang
banyak untuk diserahkan, Hulago Khan memerintahkan agar Khalifah
dieksekusi. Dan yang mengisyaratkan untuk membunuh Khalifah adalah
Ibnul Alqami dan ath-Thûsi.
Dengan terbunuhnya
Khalifah pasukan Tatar leluasa menyerbu Baghdad tanpa perlawanan
berarti. Maka jatuhlah Baghdad ke tangan musuh. Dilaporkan bahwa
jumlah orang yang tewas saat itu lebih kurang dua juta orang. Tidak
ada yang selamat kecuali Yahudi, Nashrani dan orang-orang yang meminta
perlindungan kepada pasukan Tatar, atau berlindung di rumah Ibnul
Alqami dan orang-orang kaya yang menebus jiwa mereka dengan
menyerahkan harta kepada pasukan Tatar.[14]
SEBUAH PELAJARAN BERHARGA
Melalui rekaman sejarah
yang telah dipaparkan Ulama, menyerahkan amanat dan jabatan kepada
kaum Syi'ah merupakan tindakan bunuh diri yang membahayakan umat.
Karena sejarah telah membuktikan pengkhianatan yang mereka lakukan
terhadap kaum Muslimin, khususnya kepada Ahlu Sunnah.
Al-Baghdâdi rahimahullâh
telah menjelaskan secara ringkas permusuhan kaum Syi'ah Bathiniyah
ini terhadap Islam dan kaum Muslimin. Beliau berkata:
“Ketahuilah
–semoga Allâh membuatmu bahagia– sesungguhnya bahaya yang
ditimbulkan oleh kaum Bathiniyah terhadap kaum Muslimin lebih besar
daripada bahaya yang ditimbulkan oleh kaum Yahudi, Nashrani maupun
Majusi. Bahkan lebih besar daripada kaum Dahriyah (atheis) serta
kelompok-kelompok kafir lainnya. Bahkan lebih besar daripada bahaya
yang ditimpakan oleh Dajjal yang muncul di akhir zaman. Karena
orang-orang yang tersesat akibat dakwah Bathiniyah ini sejak awal mula
munculnya dakwah mereka sampai hari ini lebih banyak daripada
orang-orang yang disesatkan oleh Dajjal pada waktu munculnya nanti.
Karena fitnah Dajjal tidak lebih dari empat puluh hari, sementara
kejahatan kaum Bathiniyah ini lebih banyak lagi daripada butiran pasir
dan tetesan hujan.”[15]
Kaum Bathiniyah ini
sengaja memilih ajaran Syi'ah sebagai alat untuk beraksi karena adanya
kecocokan dengan ambisi dan keinginan mereka. Karena mereka tidak
menemukan jalan masuk kepada Islam kecuali dengan menampakkan ajaran
Syi'ah ini dan menisbatkan diri kepada agama Syi'ah.
Abu Hamid Al-Ghazâli rahimahullâh mengungkapkan:
“Telah
sukses diadakan pertemuan di antara pengikut-pengikut ajaran Majusi
dan Mazdakiyah dari kalangan kaum Tsanawiyah yang mulhid (kafir) serta
sekelompok besar kaum filsafat mulhid –ad-Dailami menambahkan– dan
sisa-sisa pengikut ajaran Kharamiyah serta kaum Yahudi. Mereka
disatukan dengan satu slogan yaitu membuat tipu daya untuk menolak
Islam. Mereka berkata:
“Sesungguhnya
Muhammad telah mengalahkan kita dan menghapus agama kita. Carilah
sekutu untuk menghadapinya karena kita tidak mampu secara frontal
untuk menghadapi mereka. Kita tidak bisa berhasil merebut kekuasaan
yang ada di tangan kaum Muslimin dengan senjata dan peperangan.
Karena kekuatan mereka dan banyaknya personil pasukan mereka.
Demikian pula kita tidak mampu untuk beradu argumentasi dengan
mereka karena mereka memiliki Ulama, fudhala’ dan ahli tahqiq. Tidak
ada cara kecuali melakukan makar dan tipu daya."
Kemudian
mereka membuat rancangan dan program untuk mencapai tujuan ini. Dan
di antara cara yang mereka tempuh adalah masuk ke tengah kaum
Muslimin melalui jalan tasyayyu’ (ajaran Syi’ah). Walaupun mereka juga
menganggap bahwa kaum Syi'ah ini sesat, hanya saja mereka itu adalah
orang yang paling dangkal akalnya, paling konyol logikanya, paling
mudah untuk menerima perkara-perkara yang mustahil, paling percaya
dengan riwayat-riwayat dusta yang mereka buat, serta yang paling mudah
untuk menerima riwayat-riwayat palsu. Apalagi dalam ideologi Syi'ah
ini terdapat ajaran taqiyah (bermuka dua) yang sangat mereka perlukan
untuk menjalankan misi mereka. Maka mereka pun bersembunyi di balik
ajaran ini untuk melemahkan Islam dan kaum Muslimin. Sehingga tampilan
luar mereka adalah Syi'ah, tetapi batin mereka berisi kekufuran
(terhadap Islam)."[16]
Itulah sedikit dari
fakta sejarah yang sudah terjadi. Sebenarnya masih banyak lagi sejarah
hitam kekejaman ahli bid’ah ini (kaum Syi'ah) terhadap Ahlu Sunnah
khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Kita harus mengambil
pelajaran dari masa lalu agar tidak berulang pada masa mendatang.
Karena sesungguhnya seorang Mukmin itu tidak boleh jatuh dalam satu
lobang berulang kali, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Wallâhu a’lam.

[1] | Al-Bidâyah wan Nihâyah (XII/17) |
[2] | Wafayâtul A’yân, Ibnu Khalikân (II/192) |
[3] | Akhbâr Mulûk Bani ‘Ubaid tulisan ash-Shanhâji hlm. 96 |
[4] | Ar-Raudhataini fi Akhbâri Daulatain hlm. 201 |
[5] | Târîkh Islâm , adz-Dzahabi |
[6] | Wafayâtul A’yân (III/110) |
[7] | Al-Kâmil (VIII/542) |
[8] | Al-Kâmil (VIII/549) |
[9] | Siyar A’lâmun Nubalâ’ (XVI/232) |
[10] | Al-Milal wan Nihal (I/191-192) |
[11] | Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 38 |
[12] | Târîkh Akhbâr Qarâmithah hlm. 54 |
[13] | Al-Bidâyah wan Nihâyah (XI/160) |
[14] | Al-Bidâyah wan Nihâyah (XVIII/213-224) |
[15] | Al-Farqu bainal Firaq hlm 382 |
[16] | Silahkan lihat Fadhâih Bâthiniyah hlm 18-19 dengan sedikit penambahan dan pengurangan. |
0 komentar:
Posting Komentar