(Oleh: Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul-’Azîz al-Ahmadi)

Segala puji
bagi Allâh Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allâh Ta'âla yang telah
mengumpulkan kita di tempat yang baik ini -dengan izin Allâh- laksana
satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi
saudara-saudara yang saling mencintai. Alhamdulillâh,
segala puji bagi Allâh Ta'âla yang telah memberikan taufik, serta
menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i),
(yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan
orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Saya berwasiat
kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa
kepada Allâh Ta'âla. Sebab, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan
himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki
bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap da'i. Takwa merupakan bekal
yang sejati bagi setiap Muslim.

Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.
(Qs al-Baqarah/2:197)
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.
(Qs al-Baqarah/2:197)
Takwa merupakan sebab
pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa
menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda, ilmu,
isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan dunia
dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan Allâh Ta'âla
anugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa kepada Allâh Ta'âla.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ يَتَّقِ الله يَجْعَلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا
وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ
وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ
Barangsiapa bertakwa kepada Allâh,
niscaya Allâh membuatkan baginya jalan keluar
dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
dan Allâh akan menganugerahkan rezeki kepadanya
dari arah yang tidak ia duga.[1]
niscaya Allâh membuatkan baginya jalan keluar
dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
dan Allâh akan menganugerahkan rezeki kepadanya
dari arah yang tidak ia duga.[1]
Jadi, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allâh Ta'âla bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam hati.
Setiap Muslim,
bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri dengan takwa dalam
semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allâh Ta'âla adalah
benteng bagi seorang Muslim dari segala perkara yang mengotorinya
dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah kita baca dalam
Al-Qur‘an surah al-Ahzâb:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allâh
dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
(Qs al-Ahzâb /33:70-71)
dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu.
Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
(Qs al-Ahzâb /33:70-71)
Seorang penuntut
ilmu, jika ia pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta
dapat memegangnya (komitmen) dengan teguh dalam semua sisi
kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allâh– ia akan dapat mewujudkan
takwa ini pada diri orang lain. Akan tetapi amat disayangkan, sebagian
penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri
mengabaikan takwa kepada Allâh Ta'âla. Dia mengajak orang lain untuk
bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam,
menganjurkan orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada
orang lain “bertakwalah dan kerjakanlah amal shalih!”, namun ia
sendiri tidak melaksanakan apa yang ia tekankan kepada orang lain.
Hal paling penting
lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah
harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para
penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik
dalam kehidupan ini. Setiap orang akan memiliki pengaruh bagi
kawannya dalam hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang
baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika
ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya
tidak mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla serta tidak dekat dengan
(ajaran) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, maka hal-hal buruk
ini pun akan berpengaruh pada dirinya.
Maka, setiap orang
hendaknya memperhatikan, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya.
Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam. Begitu juga Al-Qur‘an pun memerintahkannya.
Allâh Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah (bersaudara);
karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu.
(Qs al-Hujurat/49:10)
karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu.
(Qs al-Hujurat/49:10)
Kata “ikhwah”
(bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang
mukmin itu ikhwah (bersaudara)”, adalah kalimat yang tidak mudah.
Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar mukmin)
ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan ini bisa
lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang mengikat
persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki,
ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang hakiki.
Sebab banyak orang mengikat persaudaraan dengan orang lain, atau
berkawan dan bersahabat dengan orang lain disebabkan oleh
kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika
kepentinganya muncul.
Namun, jika tidak ada
kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau bahkan mencaci-makinya.
Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh jujur
terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak
berbasa-basi. Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri
sahabatku, maka aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan
nasihat yang membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya tidak mau
berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk
caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang
sungguh-sungguh, nasihat yang ia butuhkan.
Jika aku lihat ia
tidak taat kepada Allâh Ta'âla, atau suka membicarakan ulama, atau
suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang
jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak
duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan menggunakan
istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah, sehingga
persahabatan ini tidak rusak.
Ada kaidah agung yang
termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allâh, jika kaidah ini
tidak terwujud pada diri kita masing-masing, niscaya kita akan
memiliki cacat dalam menjalin tali ukhuwah. Yaitu, jika seseorang
tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang dirinya berdasarkan
petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini merupakan salah
satu kaidah agama, yaitu sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
:
لاَيُــؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian,
sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya
apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya. [2]
sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya
apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya. [2]
Sayang sekali,
kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia
menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh
orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika sesuatu itu ia peroleh,
kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan
diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia
peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.
Sebenarnya kita
memiliki suri tauladan yang baik pada para salafush-shalih, tentang
bagaimana persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin
persaudaraan, bagaimana mereka mengutamakan orang lain, bagaimana
mereka mempraktekkan perkataan-perkataan Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam dan berpegang pada setiap atsar Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam.
Sesungguhnya
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah memberikan contoh nyata
dalam berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang
menyangkut semua urusan hidup.
Demi Allâh, tidak ada
sesuatu pun kecuali Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali
menjadikan kita berada pada jalan yang demikian jelas, malam
harinya laksana siang harinya; tidak akan menyimpang dari jalan ini
kecuali orang yang binasa.
Demikianlah
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam semua urusannya, dalam
masalah ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk,
dalam masalah berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau shallallâhu
'alaihi wasallam tidak meninggalkan kita kecuali telah mengajarkannya
kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum Muslimin meninggalkan apa
yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali
akan dijadikan lemah oleh Allâh Ta'âla, dan akan dikuasai oleh musuh.
Oleh sebab itu, saya
anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara
sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya
ada pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan
sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya berisi orang-orang yang senang
jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk
mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini,
hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat
juga menjadi sempurna.
Demikian pula,
saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam juga akan mewujudkan ukhuwah yang sesungguhnya.
Jika Anda melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah, maka
hendaklah Anda segera jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda melihat
seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam, maka Anda harus akrabi dia.
Demi Allâh, para
penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak, kaum
Muslimin tidak dilemahkan oleh Allâh Ta'âla, dan para musuh tidak
dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin
sudah terlalu jauh dari petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam.
Kalian semua
mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali
dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu? Pertama, ikhlas. Yaitu
jika amal perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah
(keridhaan) Allâh. Tetapi apakah ini cukup? Banyak orang Yahudi dan
Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allâh.
Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat
ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar
terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian,
kapankah ikhlas dapat diterima? Yaitu (yang kedua, Pent.) apabila amal
perbuatan yang sudah dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan
mengikuti Sunnah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Namun bagaimanakah
kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa
ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam. Oleh sebab itu, Allâh melemahkan kaum
Muslimin dan menjadikan musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum
Muslimin. Lihatlah bermacam bid’ah, khurafat dan ta’ashub (fanatisme
golongan) merajalela. Bahkan banyak orang dibikin menjauh dari
pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini keras, tidak
umum, menentang arus … dan seterusnya”.
Ibnul-Qayyim rahimahullâh mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliau rahimahullâh
mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam, mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan
menghidupkannya (sekarang) lebih utama daripada mengarahkan anak-anak
panah ke leher musuh.
Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim rahimahullâh
sampai mengatakan kalimat demikian! Sekarang, orang-orang mulai
bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan
berbagai amal perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang sekali,
sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami
banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering
memilih bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan
berbasa-basi terhadap seseorang.
Maka, demi Allâh,
wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan Sunnah
(ajaran) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Demi Allâh, (di
samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah
amal itu selaras dengan tuntunan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam. Seseorang tidak dapat dipuji agama dan semua urusannya
kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.
Karena itu,
bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah
untuk meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di antara sesama
kalian. Kalian janganlah saling berseteru. Jika seorang penuntut ilmu
melihat kesalahan pada diri saudaranya (sesama Ahlus-Sunnah), jangan
menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan memusuhinya, dan
jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya dengan
cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik. Sebab,
inilah ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam; kata-kata yang
baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan
agama yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.
Setiap kita mungkin
memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak
memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting
dalam kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan
dengannya, kita bisa mendapat pahala. Apa ruginya jika engkau
tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang sahabat pernah mengatakan:
“Saya tidak pernah melihat wajah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam kecuali dalam keadaan tersenyum”.
Tersenyum itu
berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu,
ada pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama penuntut
ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan kotor.
Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik dalam
tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan terhadap
Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Jadi, kalian harus
melaksanakan Sunnah.
Sunnah-sunnah
(ajaran-ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ini harus
diperhatikan dan dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah manusia
dengan persoalan-persoalan ini, tetapi (masing-masing penuntut ilmu
harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat mengajarkan Sunnah kepada
orang lain.
Jagalah ukhuwah yang
hakiki, ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah
(adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita
bohong. Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila
mendengar fatwa tentang seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu
hal, hendaklah mencari kejelasan dan kepastiannya. Tidak menelan
berita mentah-mentah.
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah seseorang berdosa
bila ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.[3]
bila ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.[3]
Sebagian orang,
setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini,
begitu, melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat
penuntut ilmu.
Pertama kali,
kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik
sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap kawan-kawannya.
Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka terhadap mereka. Tidak berburuk
sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan tuduhan kepada orang
lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita melihat
seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah, jangan langsung
menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau
menghendaki sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan
kepadanya untuk suatu urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa
“orang ini serupa, sama-sama ahli bid’ah”, maka ini tidak benar.
Apakah kita mengetahui hatinya?
Seperti sahabat yang
membunuh orang yang mengucapkan 'Lâ ilaha Illallâh' tatkala orang yang
dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang
mengucapkan kalimat 'Lâ Ilaha Illallâh'?
Ia menjawab,”Sebab
orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri,” maka Nabi
shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: “Apakah engkau membelah
dadanya?”.
Demikianlah Nabi
shallallâhu 'alaihi wasallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini
awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim
yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allâh Ta'âla. Tiba-tiba
engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan semacam ini.
Jelaslah, itu bukan
pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu
hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik,
memberi nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki.
Ia tidak layak terlalu keras seraya mengatakan “sayalah satu-satunya
pengikut Sunnah, orang lain bukan pengikut Sunnah”.
Jadi, semestinya ia
mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang
dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh
Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam
tidak meninggalkan kita kecuali beliau shallallâhu 'alaihi wasallam
telah mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk tata cara
bergaul dengan orang lain dan melakukan pergaulan dengan orang
kafir. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita
bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut
bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup
kita.
Beliau shallallâhu
'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad, kapan
kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang
menjadi kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat di
masjid. Melihat ini, ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia
tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah jelas berdasarkan bukti
bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat adalah kufur.
Tetapi, apa engkau
boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak, sebab siapa tahu ia
shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia baru masuk Islam,
atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah seperti ini.
Seorang penuntut ilmu
harus menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah ‘aqidah,
membaca kitab-kitab ‘aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui
bahwa jalan pertama menuju surga ialah tauhid. Demi Allâh, seseorang
tidak akan masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi
shallallâhu 'alaihi wasallam berada di Mekkah selama 13 tahun
mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar ‘aqidah yang benar.
Ada sebagian orang
dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman, ia
tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut Murji‘ah, ia tidak
tahu. Ia tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir
(hukum mengafirkan orang), ia tidak tahu. Tentang pedoman jihad, ia
tidak tahu. Apa arti wala‘ wal-bara‘, ia tidak tahu. Apa perbedaan
antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham.
Padahal ia berdakwah
mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali ilmu
secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allâh yang menyebabkan
pelakunya menjadi kafir. Ada orang yang menghukumi kafir kepada
setiap orang, terutama penguasa yang berhukum dengan selain apa yang
diturunkan Allâh. Ini tidak benar!
Saya termasuk salah
satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada
para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir
menyimpang, yang melakukan peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para
penjahat yang menghabisi diri sendiri dan menghabisi orang lain.
Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup. Mereka hanya
memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat terhadap banyak hal
menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar ilmiah,
kosong!.
Demi Allâh, jika
mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan
melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka
memahami wala‘ wal-bara‘ dan bisa membedakan antara muwâlah (setia
kawan dan kasih sayang) dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang baik),
tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan itu.
Saudaraku, andaikata
penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah
kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau laksanakan.
Apalagi jika penguasa itu seorang muslim.
Orang tidak bisa
membedakan antara muwâlah (setia kawan dan kasih sayang) dengan
mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar engkau
bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang kafir, engkau akan
dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan orang kafir
tersebut.
Wahai saudaraku,
padahal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menjelaskan
makna muwâlah kepada kita. Al-Qur‘an juga telah menjelaskannya kepada
kita. Sementara itu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tetap
bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang-orang kafir di
Madinah. Beliau –misalnya- mempergauli orang Yahudi, ziarah ke tempat
seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga dengan sebab itu orang
Yahudi tersebut masuk Islam.
Lalu bagaimanakah
dengan kita (kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit
diri kita sendiri dan mempersulit orang lain? Mengapa banyak di
antara kita (kaum Muslimin) yang menjadikan orang lain antipati
terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras yang tidak bedasarkan
petunjuk dari Allâh? Mengapa demikian? Terutama yang berkaitan
dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala‘ wal-bara‘, mengapa
tidak mengikuti manhaj Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ?
Demikianlah untaian
nasehat Syaikh ‘Abdul- ’Aziz -hafizhahullâh- selanjutnya memberikan
contoh tentang sikap para ulama yang lemah lembut dalam mempergauli
orang lain, seperti Syaikh bin Baz rahimahullâh dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullâh.
Begitu pula pada
bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh ‘Abdul-’Aziz
-hafizhahullâh- menekankan agar setiap penuntut ilmu
bersungguh-sungguh mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam
melalui bimbingan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah,
seseorang akan dapat mengikuti Sunnah dan ajaran Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam secara benar. Sehingga tidak akan
melakukan penyimpangan-penyimpangan, termasuk tindakan anarkhis dan
merugikan orang lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk,
bahkan di kalangan kaum Muslimin awam.
Kandungan bagian
akhir dari nasihat Syaikh ‘Abdul-’Aziz -hafizhahullâh- terpaksa
kami ringkas, karena nasihat tersebut masih agak panjang. Semoga
bermanfaat bagi kaum Muslimin.
Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (06-07)/Tahun XI)
0 komentar:
Posting Komentar