(Dirangkum oleh Ustadz Abu Ashim)
Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah
menghindari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti,
mana perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan,
dan mana yang boleh didekati. Sehingga iblis berkesempatan
mempermainkan mereka. Lahirlah anggapan bahwa seseorang tidak akan
selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia seisinya. Kalau
perlu menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk melakukan
peribadatan kepada Allâh Ta'ala. Meskipun dengan meninggalkan
keluarga, orang tua dan bahkan shalat berjama’ah serta shalat Jum’at.
Sebagian orang menganggap, inilah zuhud yang hakiki. Persepsi
semacam ini muncul lantaran kedangkalan terhadap ilmu agama.[1]
Orang awam yang jenuh dengan gemerlap
dunia, atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin
mendapatkan ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap
dalam pengertian zuhud di atas. Ia akan lahap untuk mendengarkan
secara salah ayatayat, hadits-hadits serta ceramah-cermah yang
berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia, semuanya buruk dan
negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan akhirat hanya dapat
diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan
bermalas-malasan dengan dalih ibadah.
MAKNA ZUHUD[2]
Sebenarnya Apa Dan Bagaimana Zuhud Itu?
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar
merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya
keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya
sekedar hilang keinginan[3]
Zuhud Menurut Pengertian Syari’at.
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi
mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling
tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullâh.
Syaikhul Islam rahimahullâh mengatakan,
zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa
yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara
mubah yang berlebihan dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat
ketaatan kepada Allâh Ta'ala, disertai sikap percaya sepenuhnya
terhadap apa yang ada di sisi Allâh Ta'ala.[4]
TINGKATAN ZUHUD
Zuhud itu sendiri, menurut Ibnu Al Qoyyim rahimahullâh[5] serta ulama lain ada empat tingkatan.
Pertama. Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.
Kedua. Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah).
Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara
mubah yang berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi
kebutuhan, baik makan, minum, pakaian dan semisalnya.
Ketiga. Zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan menuju Allâh Ta'ala. Zuhud pada tingkat ini ada dua macam:
-
Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan menjadi menghampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya. Hal ini, seperti keadaan para khulafa’ur rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz. Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun kekayaan harta benda ada di tangannya. Begitu pula keadaan manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Ketika dunia ditaklukkan oleh Allâh untuk Beliau, malah menjadikan Beliau semakin zuhud terhadap dunia.
-
Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan zuhud yang terberat.
Keempat. Zuhud terhadap perkara
syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang belum jelas
bagi seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya orang-orang
yang wara’ (menjaga kehormatan).[6]
Berkaitan dengan zuhud terhadap persoalan duniawi,
maka perlu diterangkan secara lebih rinci. Sebab orang-orang sufi
dapat memaksudkan zuhud tersebut dengan melupakan makhluk, tidak mau
memandang makhluk atau mengingkari keberadaan makhluk. Semua ini
adalah salah.
Jadi zuhud terhadap dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Al Qoyyim rahimahullâh
di atas, tidak berarti mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta.
Tetapi zuhud itu terletak di dalam hati. Yakni, agar hati tidak
tergantung pada cinta dunia. Namun ketergantungannya hanya kepada
Allâh Ta'ala saja dengan cara taat kepada-Nya, baik ia memiliki
kesenangan duniawi ataupun tidak. Kadang, zuhud itu bisa terjadi
bersama dengan kekayaan atau bersama dengan kemiskinan.
Para nabi terdahului juga zuhud meskipun kaya raya. Misalnya Nabi Dawud 'alaihissalam dan Nabi Sulaiman 'alaihissalam. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
juga terkenal sebagai orang yang jauh lebih baik dari lembutnya angin
sepoi yang berhembus. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih
Muslim, Kitab al-Fadha’il, Bab Kaana an Nabiyyu n ajwadan Naasi bil
Khair min ar Riihi al Mursalati. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam terkenal tidak pernah menolak orang yang meminta-minta. Begitu pula Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf radhiyallâhu'anhum. Mereka adalah orang-orang zuhud, padahal mereka dikenal sebagai sahabat yang kaya raya.
HAL-HAL YANG DAPAT MELURUSKAN ZUHUD
Dalam masalah zuhud terhadap dunia, Imam Ibnu Al Qoyim rahimahullâh menjelaskan,[7] zuhud ini bisa diluruskan dengan tiga hal:
Pertama. Hendaknya seorang muslim memahami bahwa dunia hanyalah bayang-bayang dan khayalan yang akan lenyap.
Dunia hanyalah sebagaimana firman Allâh Ta'ala:

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan,
sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan
di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak.
Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering,
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat nanti ada azab yang keras
dan ada ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
(Qs Al-Hadid/57 : 20)
sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan
di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak.
Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering,
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat nanti ada azab yang keras
dan ada ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
(Qs Al-Hadid/57 : 20)
Juga sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat.
Allâh Ta'ala menyebut kehidupan dunia sebagai kesenangan yang menipu,
dan Allâh Ta'ala melarang, agar hambaNya tidak tertipu dengan dunia
serta menceritakan akibat buruk bagi orang-orang yang tertipu dengan
dunia.
Kedua. Hendaknya
seorang muslim memahami bahwa di belakang dunia ada negeri (kehidupan)
yang lebih besar dan lebih agung kedudukannya. Itulah negeri abadi.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menggambarkan perbandingan antara dunia dan akhirat dengan sabdanya:

Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat
kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini
(Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya)
ke dalam sungai.
Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu. [8]
kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini
(Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya)
ke dalam sungai.
Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu. [8]
Ketiga. Hendaknya ia
memahami bahwa zuhud terhadap dunia tidak akan menghalangi seseorang
untuk memperoleh dunia yang telah ditakdirkan untuknya. Sebaliknya,
semangatnya untuk memperoleh dunia tidak akan menyebabkan ia dapat
memperolehnya jika ia tidak ditakdirkan memperolehnya. Hal ini akan
memudahkan dirinya untuk zuhud terhadap dunia.
PERKATAAN SEBAGIAN SAHABAT NABI TENTANG ZUHUD
Umar bin Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Sesungguhnya engkau tidak
akan memperoleh amal akhirat yang lebih baik daripada zuhud
terhadap dunia. Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan rendah”.[9]
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu
berkata: “Dunia pasti akan pergi membelakangi, dan akhirat pasti akan
datang menjelang. Masing-masing dari dunia maupun akhirat memiliki
anak-anak generasi. Maka jadilah engkau anak generasi akhirat, dan
jangan menjadi anak generasi dunia. Hari ini adalah hari beramal,
tidak ada hisab (penghitungan amal). Sedangkan esok adalah hari
hisab, tidak ada amal.[10]
ZUHUD YANG BENAR
Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sedangkan zuhud yang paling buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan petunjuk Beliau. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:

Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan
adalah bimbingan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama (bid'ah),
dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]
adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan
adalah bimbingan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama (bid'ah),
dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]
Bahkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
pernah mengingkari keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang.
Yaitu ketika ada orang yang tak hendak menikah, sementara yang lain
tak hendak tidur dan yang lain lagi tak hendak makan daging.
Sebagaimana dalam hadits :

Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan:
ada tiga orang sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah Beliau.
Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabiitu sedikit.
Lalu mereka mengatakan, Siapakah kita dibandingkan Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam!
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wassalam sudah diampuni segala dosanya,
baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang.
Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata,
"Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam".
Yang lain mengatakan, "Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka".
Yang lain berkata, "Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah".
Maka (ketika) Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendatangi mereka,
(Beliau) bersabda, "Kaliankah yang mengatakan ini dan itu ?
Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah,
akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka,
saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
berarti ia bukan termasuk golonganku." [12]
ada tiga orang sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah Beliau.
Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabiitu sedikit.
Lalu mereka mengatakan, Siapakah kita dibandingkan Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam!
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wassalam sudah diampuni segala dosanya,
baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang.
Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata,
"Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam".
Yang lain mengatakan, "Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka".
Yang lain berkata, "Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah".
Maka (ketika) Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendatangi mereka,
(Beliau) bersabda, "Kaliankah yang mengatakan ini dan itu ?
Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah,
akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka,
saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
berarti ia bukan termasuk golonganku." [12]
Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang
dibenarkan dalam syari’at, apabila seseorang ingin hidup memutuskan
diri sama sekali dari kesenangan dunia dan memisahkan diri dari
keramaian untuk beribadah sepenuhnya kepada Allâh Ta'ala (tabattul). Sebagaimana dalam shahih Muslim:

Dari Sa’id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia
mendengar Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu berkata:
“Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul,
namun Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya.
Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]
mendengar Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu berkata:
“Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul,
namun Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya.
Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]
Jadi zuhud yang dibenarkan dalam
syari’at, ialah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan, yang tidak
dapat membantu ketaatan kepada Allâh Ta'ala, baik berupa makan,
minum, pakaian, harta dan lain sebagainya. Sebagaimana perkataan Imam
Ahmad “Zuhud ialah makan tetapi di bawah ukuran makan seperti
umumnya, berpakaian, tetapi lebih sederhana dari umumnya, dan bahwa
dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar.[14]
KESIMPULAN
Sebagai kata penutup, sesungguhnya
hakikat zuhud tidaklah sama dengan tasawuf. Dan tasawuf bukan zuhud.
Sebab tasawuf telah terasuki keyakinan, pemikiran, filsafat dan
perkara-perkara bid’ah. Zuhud tidak dicela oleh siapapun, sedangkan
tasawuf dicela oleh para ulama Sunnah.[15]
Karena itu, marilah belajar untuk zuhud secara benar dan sungguh-sungguh. Wallâhu Waliyyu at Taufiq.
Maraji’: -
At Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qalbiyah- Tahqiq wa Dirasah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tahqiq, Ta’liq dan Takhrij Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah al Hunaidi, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cet. I-1421H/2000 M.
-
Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid, Daar Ibnu al Jauzi, Cet. I – 1410H/ 1990M.
- Thariq al Hijratain wa Bab as Sa’adatain, karya Imam Ibnu al Qoyyim, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet. I - 1402H/1982M.
- Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi, Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah, Riyadh.
- Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut, Libanon.

[1] | Lihat Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu Al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesembilan, hlm. 191. |
[2] | Pengertian ini disadur secara ringkas dari buku at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, Tahqiq wa Dirasah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi, bagian muqadimah, hlm. 174-184. Ditambah beberapa referensi lain yang akan diterangkan dalam catatan kaki. |
[3] | Diringkas dari Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, oleh Dr. Yahya Al Hunaidi, hlm. 174. |
[4] | Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi. Hlm. 174-175. |
[5] | Lihat Thariq al Hijratain wa Bab as Sa’adatain, karya Imam Ibnu Al Qoyyim, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet. I, 1402 H/1982 M, hlm. 251 dst. |
[6] | Lihat pula Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi, hlm. 181. |
[7] | Lihat Thariq al Hijratain, hlm. 252-253. |
[8] | Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (XVII/189), no. 7126. |
[9] | Dinukil dari Kitab Az Zuhud, karya Imam Ahmad oleh Dr Yahya al Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178. |
[10] | Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178, dan Shahih Bukhari - Fathul Bari (XI/230) secara mu’allaq dengan shighat jazm. |
[11] | Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (VI/392) Kitab al Jum’ah, Bab Raf’us Shaut fi al Khutbah wa Maa Yaquulu fiha, no. 2002. |
[12] | HR Bukhari |
[13] | Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (IX/180), no. 3392. |
[14] | Dinukil dari Kitab al Wara’ Imam Ahmad, oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah al Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah tahqiq wa dirasah, hlm. 184. |
[15] | Lihat Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesepuluh, hal 214 dengan catatan kakinya. |
(Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun IX/1426H/2005M)
0 komentar:
Posting Komentar