Web Toolbar by Wibiya r3ndri'5 Blogs: Garis Besar Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Ahlul Bait
[tutup]

Minggu, 22 April 2012

Garis Besar Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Ahlul Bait

(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV)

Aqidah Ahlus Sunnah bersifat wasath (berada di tengah-tengah) antara ifrâth (bersikap berlebihan) dan tafrîth (bersikap meremehkan) pada seluruh perkara aqidah, termasuk dalam bersikap terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam ). Ahlus Sunnah memberikan wala (kesetiaan dan penghormatan) kepada setiap Muslim dan Muslimah dari keturunan Hasyim dan Muththalib. Demikian juga menghormati dan mengagungkan seluruh istri Nabi.
Ahlus Sunnah mencintai dan memuji Ahlul Bait, serta menempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan kemuliaan mereka berlandaskan nash-nash syar’i, bukan berdasarkan hawa nafsu atau perasaan belaka. Ahlus Sunnah mengakui keutamaan insan yang Allâh Ta'âla beri kenikmatan iman dan kemuliaan nasab (garis keturunan). Siapa saja yang termasuk Ahlul Bait, maka Ahlus Sunnah mencintai mereka karena keimanan dan ketakwaan mereka, kemudian karena status sebagai Sahabat Nabi dan keluarga beliau.
Ahlul Bait yang bukan seorang Sahabat, maka Ahlus Sunnah mencintai mereka karena keimanan dan ketakwaan, serta hubungan kekerabatannya dengan insan yang paling mulia, Rasûlullâh Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Ahlus Sunnah memandang bahwa kemuliaan nasab itu tergantung dengan keimanan seseorang. Barang siapa memperoleh dua hal ini, kemuliaan nasab (menjadi Ahlul Bait) dan keimanan kepada Allâh Ta'âla, berarti dia telah mendapatkan dua kebaikan yang agung. Sebaliknya, siapa saja yang belum mendapatkan taufik untuk beriman kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya, maka kemuliaan nasab tidak bermanfaat sama sekali. Sebab Allâh Ta'âla berfirman:
QS. al-Hujurât/49:13
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allâh
ialah orang yang paling takwa di antara kamu
(QS. al-Hujurât/49:13)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
Barang siapa amalannya sedikit,
maka nasabnya tidak bisa mempercepat (dia meraih kemuliaan)
(HR. Muslim no. 2699)

Al-Hâfizh Ibnu Rajab rahimahullâh menjelaskan hadits ini dengan berkata: “Maknanya, sesungguhnya amal (sholeh) lah yang akan mengangkat derajat seorang hamba di akherat, sebagaimana firman Allâh Ta'âla berikut:
QS. al-An’âm/6:132
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang)
dengan apa yang dikerjakannya
(QS. al-An’âm/6:132)
Barang siapa amal (sholeh) nya sedikit di sisi Allâh Ta'âla, maka nasabnya tidak membantu dirinya untuk meraih derajat tinggi. Sebab, Allâh Ta'âla mengaitkan balasan bagi seorang hamba berdasarkan amalnya, bukan nasabnya.
Allâh Ta'âla berfirman:
QS. al-Mu’minûn/23:101
Apabila sangkakala ditiup
maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu
dan tidak ada pula mereka saling bertanya
(QS. al-Mu’minûn/23:101)
Allâh Ta'âla telah memerintahkan (para hamba-Nya) untuk bersegera memperoleh ampunan dan rahmat-Nya dengan mengerjakan amal shaleh. Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya):
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri,
mereka ingat akan Allâh,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh?
dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui"
(QS. Ali ‘Imrân/3:133-135)
Sesungguhnya kedekatan dengan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam hanya dapat diraih dengan ketakwaan dan amal shaleh. Barang siapa memiliki keimanan dan amalan yang lebih sempurna, maka ia akan lebih dekat dengan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam . Baik orang tersebut memiliki kedekatan keluarga dengan beliau atau tidak memiliki hubungan nasab dengan beliau. Wallâhu a’lam.
(Diadaptasi dari Fadhlu Ahlil Baiti wa ‘Uluwwi Makânatihim,
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd)

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...